MOSTER CINTA
By : Nayla
Moster Cinta
By: Nailatul Hafifa
“Sayang,
aku kangen sama kamu”, suara lelaki di ujung telepon.
“Aku
juga kangen sama kamu, Sayang. Tapi besok kan kita udah bisa ketemu, dan besok
hari yang paling bersejarah buat kita”, kata gadis itu.
Yah
mereka adalah sepasang kekasih, dan besok adalah hari besar untuk mereka. Hari
yang paling bersejarah, pernikahan. Mereka akan menikah besok, setelah mereka
cukup lama berpacaran. Kurang lebih 6 tahun, dari mereka masih SMA.
Dion,
nama lelaki yang berbicara di ujung telepon. Dan Neisya yang akan menjadi
istrinya besok.
Pernikahan
yang sangat megah dan meriah, banyak yang akan hadir di pernikahan besok, mulai
dari pejabat penting negeri ini bahkan sampai masyarakat biasa.
Ini
sangat megah dan meriah, bagaimana tidak? Orang tua Neisya adalah orang yang
terkenal di negeri ini, yang memiliki banyak perusahaan baik di dalam negeri ataupun
di luar negeri, mulai dari hotel, PT, CV, bahkan tambang batu bara. Sedangkan
orang tua Dion, adalah salah satu mitra orang tua Neisya. Pernikahan ini tidak
hanya pernikahan dua insan saja tapi pernikahan dua keluarga yang terpandang,
dan bisa juga dikatakan pernikahan politik.
Terlihat
Neisya membalurkan lulur ke tubuhnya, tak ingin terlihat kusam di hari
pernikahannya. Senyumnya pun tak pernah hilang dari wajah Neisya, dia menabur
senyum hari.
Hari
pernikahan tiba, Neisya sudah siap disana menanti datangnya mempelai pria. Dia
terlihat sangat cantik dengan balutan baju pengantin khas adat jawa, begitu
juga dengan tata riasnya, dia tidak memakai make up saja sudah cantik, apalagi
saat dia bermake-up, semakin cantik saja dia. Bibirnya dilapisi dengan lipstick
warna merah, dan membuat senyumnya sangat mampu melelehkan hati pria tepatnya
tamu pria yang datang.
Mempelai
pria datang, dengan baju dan tata rias yang senada dengan Neisya. Acara
berlaksung khidmat, dan sampailah pada acara inti yaitu acara pengucapan janji
dengan sang pencipta dimana mempelai pria akan ber-akad.
“Saya
nikahkan engkau saudara Dion Putra Hendra Kusumo dengan saudari Anita Neisya
Candrawinata dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang bernilai
88.888.880 rupiah dibayar tunai”, ucap penghulu.
“S-S-Saya
t-terima”, Dion terlihat gugup mengucapkannya.
“Hentikannnnnnn”,
teriak wanita yang baru datang.
Semua
mata memandang ke arahnya, bagaimana bisa dia mengganggu acara ini.
“Hentikan
semua ini”, teriaknya lagi.
Neisya
geram dengan wanita itu, bisa-bisanya dia mengganggu acara pernikahan Neisya.
“Siapa
dia Dion?”, tanya Neisya.
“Dia-Dia….”,
terbata-bata saat Dion menjawab pertanyaan Neisya.
“Dion”,
teriak wanita itu memanggilnya.
“Maafkan
aku Nei, aku gak bisa nikahin kamu”, kata Dion lirih kepada Neisya.
Jedddaarrr…
Neisya tidak percaya semua ini, dia tidak menyangka Dion akan berkata seperti
itu padanya.
Semua
para undangan menyaksikannya, termasuk keluarga besar Candrawinata dan Henda
Kusumo.
Neisya
mematung disana, menyaksikan Dion pergi dari sampingnya dan menghampiri wanita
itu.
“Maaf
Pa, Dion gak bisa ngelakuin yang Papa mau. Dion mencintai Sisil bukan Neisya,
dan Dion gak mau nyakitin Neisya dengan pernikahan ini”, kata Dion kepada
Papanya.
Orang
tua Neisya sangat geram dengan apa yang diucapkan Dion tadi.
“Maaf
Neisya”, kata Dion.
Dion
pun pergi meninggalkan tempat pernikahannya dengan Neisya, dia pergi dengan
wanita yang dia sebut Sisil.
Air
mata menetes dari mata Neisya, dia tidak dapat lagi membendungnya. Para
undangan pun kini menghilang satu per satu, acara pernikahannya menjadi kacau,
bahkan bukan kacau lagi tapi acara pernikahan yang gagal.
Candrawinata,
ayah Neisya terlihat ambruk dan kejang-kejang. Neisya segera menghampirinya.
“Papa,
papa”, kata Neisya di sela tangisnya.
Ibu
Neisya mematung, melihat suaminya yang sekarat dan menyaksikan pernikahan putri
satu-satunya yang gagal.
“Papa
papa jangan pergi, jangan tinggalin Neisya”, Neisya berteriak di samping
ayahnya yang sudah menutup mata.
Candrawinata,
ayah Neisya telah menghadap sang Kuasa. Dia terkena serangan jantung tadi.
“Papaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa”,
Neisya menangisi kepergian ayahnya.
***
“Ga, keluar yuk”, ajak Neisya.
“Duh, Nei gue masih ngantuk”.
“Ah lo mah ngantuk terus, ayo bangun Ga”,
Neisya mengguncang-guncangkan tubuh Vega sahabat karibnya.
“Uh resek lo, lo kok bisa masuk sih kan
pintunya di kunci”.
“Gue kan punya kunci cadangan rumah lo,
ayo bangun !”, kata Neisya merengek.
Vega masih ngantuk, dia membetulkan
selimutnya, tidak menghiraukan Neisya yang dari tadi menunggu dikamarnya,
menunggunya bangun.
“Vega Banguuuuuuuuuuuuuuuun”, Neisya
berteriak tepat di lubang telinga Vega.
“Iya iya iya”, Vega menyerah dia tak
mau gendang telinganya pecah gara-gara dia tak menuruti apa yang Neisya mau.
***
“Jadi lo bangunin gue pagi-pagi cuma
disuruh nemenein lo sarapan di restoran”, gerutu Vega.
“Salah satunya itu”, kata Neisya dengan
mulut terisi roti panggang kesukaannya.
“Salah satunya? Emang ada lagi
alasannya?”, tanya Vega sambil menyerudut susu hangat.
“Ada, gue mau ngenalin pacar baru gue
ke lo”.
“What? Gue gak salah denger kan?”,
tanya Vega dengan mata melotot kea rah Neisya.
“Vega sayang, telinga lo gak bermasalah
kok”.
“Telinga gue emang gak bermasalah, tapi
lo yang bermasalah”.
“Lahh kok gue? Emang kenapa gue?”.
“Pakek nanyak lagi, kemaren kan lo baru
jadian sama Angga, dan sekarang lo bilang mau ngenalin pacar baru lo ke gue,
jangan bilang itu orangnya Angga”.
“Vega sayang, ngapain sih gue ngenalin
Angga ke lo, lo kan udah kenal dia, yang ini bukan Angga. Liat saja nanti”,
kata Neisya dengan nada santai.
“Lo udah putus sama Angga?”, tanya Vega
memastikan.
Neisya hanya tersenyum sambil memainkan
alisnya naik turun.
“Haii sayang”, sapa lelaki kepada
Neisya itu sambil melangkah mendekati Neisya dan Vega.
“Hai”, sapa Neisya juga.
“Sudah lama disini?”, tanya lelaki yang
masih berdiri di samping Neisya.
“Gak kok barusan, ayo duduk”, kata
Neisya
“Vega dia Ranu, pacar baruku. Dan Ranu,
dia Vega sahabatku”, Neisya memperkenalkan keduanya.
“Heii”, sapa Ranu kepada Vega.
“Ya”, Vega menyapanya dengan anggukan.
“Oh ya Vega, gue jalan dulu yah sama
Ranu, dan jangan lupa bayarin yah”, pinta Neisya.
Vega hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya, dia tak mengerti sikap sahabatnya yang sangat berubah.
***
Ranu mengajak Neisya keliling taman
kota, dan dengan manjanya Neisya memegang tangan Ranu seperti anak kecil yang
takut ditinggal.
“Gue sayang sama lo”, kata Ranu.
“Gue juga”.
“Neisya”, Angga memanggilnya.
Yah Neisya berpapasan dengan Angga di
taman.
“Siapa dia?”, tanya Angga dengan nada
tinggi.
Neisya masih memegang tangan Ranu.
“Dia pacarku”, jawabnya Neisya dengan
wajah tak bersalah.
“P-pacar, maksudmu?”.
“Siapa dia sayang”, tanya Ranu kepada
Neisya.
Neisya hanya tersenyum mendengar
pertanyaan dari Ranu.
“Gue pacar Neisya”, ucap Angga
menantang.
“Eh jangan ngacok lo”, kata Neisya.
“Gue kan pacar lo Neisya”, ucap Angga
emosi.
“Sejak kapan?”, tanya Neisya
“Sejak kemarin”.
“Sayang apa yang di bilang itu bener?
”, tanya Ranu.
Lagi-lagi Neisya hanya tersenyum
mendengar pertanyaan dari Ranu.
“Dengerin ya Ga, itu kan kemarin
sekarang sudah beda”, ucap Neisya.
“Maksud lo?”, Angga merasa
dipermainkan.
“Gue kan pacar lo kemarin. But now, I’m
not your girlfriend again”, jelas Neisya.
Neisya mengajak pergi Ranu meninggalkan
Angga yang mematung.
Dan buuuuuuuuuuukkkkk.
Angga memukul Ranu. Ranu meringis
kesakitan, memegang perutnya yang tadi dipukul keras oleh Angga.
“Apa-apaan sih lo Angga, norak tau”,
kata Neisya pada Angga.
“Lo gak pa-pa kan sayang?”, tanya
Neisya kepada Ranu khawatir.
“Gue gak pa-pa”.
Jelas sekali Ranu sedang berbohong.
Pukulan tadi mungkin akan membuat nyeri yang amat, karena pukulan Angga tadi
sangat keras.
Angga hanya tersenyum sinis.
“Norak, lo bilang lo bukan cewek gue
lagi tanpa ada kata putus sebelumnya, lo tuh yang norak”, kata Angga masih
dengan senyum sinisnya.
“Oh gitu. Ok kita p-u-t-u-s. itukan mau
lo”.
Neisya segera memapah Ranu yang
meringis kesakitan, membawanya menjauh dari Angga.
“Nei, gue gak mau putus sama lo Nei.
Nei tunggu”, teriak Angga.
“Norak lo”, teriak Neisya kearahnya.
***
GOTTA BE YOU
By : Nayla
Gotta
Be You
By: Nailatul Hafifa
Aku berjalan menyusuri koridor apartemen,
tampak lengang hari ini. Tak ada seorang pun terlihat, tak ada suara gaduh pun
yang terdengar dari balik pintu kamar apartemen. Kemana mereka? Tak biasanya
apartemen sepi seperti ini.
Aku berada di depan pintu lift, menunggu
pintunya terbuka karena lebih baik aku mencari udara segar saja di luar
apartemen dari pada memikirkan orang-orang di apartemen yang menghilang entah
kemana, mungkin mereka sedang terjebak lorong waktu doraemon, hahaha bisa jadi.
Pintu lift terbuka dan begitu terkejutnya aku
karena melihat seseorang di dalam lift, tinggi, memakai mantel hitam panjang,
dan masker yang menghiasi mukanya dengan topi koboi bertengger di kepalanya.
Tak pernah aku melihatnya, asing bagiku. Aneh.. yah benar-benar terlihat aneh
dan membuat bulu kudukku merinding. Aku terus saja menatapnya, memendam rasa
curiga terhadap orang itu. Dia menunduk menutupi wajahnya yang hanya terlihat
matanya, mata yang biru. Aku mundur satu langkah, dengan muka sedikit curiga.
Pintu lift akan menutup dan aku tahu itu, tak ingin satu lift dengan orang aneh
dan mencurigakan, aku mengurungkan niat ku pergi mencari udara segar, yang aku
inginkan sekarang kembali ke kamar apartemenku, dan bersantai disana.
Aku berjalan menjauhi lift, tapi seakan rasa
penasaran hinggap pada diriku, aku pun menoleh ke arah pintu lift, dan ya
ampun… pintu lift masih terbuka, orang aneh itu menahan pintu liftnya.
Aku mengerjitkan alisku, dan bertanya-tanya
dalam hati. Apakah dia orang jahat? Apakah dia penculik orang? Apakah dia
perampok? Sangat banyak pertanyaan negative tentangnya yang tak perlu jawaban
karena aku pasti sudah tau jawaban yang aku butuhkan. Aku mengambil nafas
panjang, dan orang itu masih melihat ke arahku. 1… 2… 3… aku lari seribu
langkah menjauhinya menuju kamar apartemenku. Sesekali aku menoleh ke belakang
dan kulihat dia tetap pada posisinya tak berpindah sedikitpun dan orang itu
tetap melihat kearahku.
Aku sampai di depan pintu apartemenku, dan
aku masih melihatnya yang tak bergerak karena jarak antara kamar apartemenku
dengan lift tak begitu jauh masih terjangkau oleh mata, nafasku mulai habis,
peluh bercucuran, tanganku yang gemetar memencet kata sandi pintu apartemen.
Dan klik.. pintu kamar apartemenku terbuka, segera aku masuk ke apartemen dan
menguncinya rapat-rapat.
***
Kriiiiiiiiiuuuuyuuuuuuuuuuuuuuk…
Suara perut kosongku berbunyi minta diisi,
untuk malam ini aku harus pergi keluar mencari makan, seperti biasanya.
Ku bungkus tubuhku dengan mantel tebal, ku
lilitkan syal ke leherku, syal satu-satunya yang kumiliki, di luar pasti
udaranya sangat dingin dan aku tak tahan dengan udara dingin.
Aku menunggu pintu lift terbuka, dan yap… tak
perlu waktu lama pintu lift terbuka untukku. Tapi bukan rasa senang yang
menghampiriku, tapi rasa terkejut yang datang padaku. Bagaimana tidak terkejut,
aku melihat orang yang beberapa hari lalu membuat bulu kudukku merinding,
sekarang berada di depanku lagi. Persis saat pertama kali kejadian itu terjadi.
Aku ragu untuk masuk ke dalam lift tapi lapar diperut tak bisa aku tahan.
Aku melangkah memasuki lift, dengan penuh
keraguan, ketakutan, dan kecurigaan kepada orang itu. Aku berdiri menjauh
darinya, berharap pintu cepat terbuka di lantai dasar. Rasanya waktu kejadian
berlangsung menunggu waktu 10 detik seperti sentengah abad lamanya.
3, 2, 1.. pintu lift terbuka. Aku bisa
bernafas lega, aku segera melangkah keluar dari dalam lift begitu juga
dengannya. Di saat di dalam lift, kau tau seperti apa? Seperti kau sedang
berada di kuburan tanpa jangkrik, sepi, dingin, hanya aroma parfumnya yang
tercium olehku. Dan aromanya tak seaneh penampilannya.
Melangkah menyusuri jalanan yang ramai, dan
tetap selalu menoleh ke belakang. Aku takut ada seseorang yang mengikutiku
terutama orang aneh itu, parno dikit.
***
Matahari tepat 90 derajat bertengger di sana,
di tempatnya. Dan masih banyak bunga di keranjang sepedaku yang siap ku antar
ke pelanggan. Hari ini cuacanya sangat panas, tak seperti biasanya. Ku kayuh
sepeda ontelku, ke tempat tujuan, berharap bunga yang ada di keranjang sepedaku
habis terantar.
“Panasnya hari ini”, kataku dalam batin
sambil sesekali mengipas-ngipaskan topi yang ada di tanganku di beranda tokoku.
Kringggggg kringgggg
Teleponku berbunyi.
“Halo, toko bunga Akira disini”, sapaku
Tak ada jawaban, persis seperti yang ku alami
tiap harinya, selalu saja ada orang iseng yang mengerjaiku.
“Halo”, sapaku lagi
Dan tetap saja tak ada suara di ujung telepon
sana. Kututup teleponnya, kembali ku sandarkan tubuhku yang lelah ini. Mengurus
toko tak semudah yang kau bayangkan, apalagi toko bunga, kau harus mengantarkan
pesanan-pesanan bunga tepat waktu dan jika lewat tak ada lembar rupiah yang aku
dapat. Untuk saat ini memang tak ada yang membantuku mengurus toko bungaku, karena
kakak sepupuku yang biasanya membantuku sedang ada urusan dengan keluarganya.
Yah…terpaksa aku mengurusnya sendiri. Dan untungnya sekarang libur kuliah jadi,
menjaga toko tak menggangguku kuliahku.
Aku mulai membuka toko bunga ini sekitar 1
tahun yang lalu, memulainya dengan modal yang diberikan oleh ayahku dan
sekarang beliau sudah ada di surga yang damai disana. Ibu? Ibuku kawin lagi,
dan aku tak ingin serumah dengan suami barunya. Maka dari itu aku diberikan
apartemen oleh ibu. Tapi sudah lama aku tak bertemu dengannya, mungkin ibuku
sibuk dengan keluarga barunya. Terakhir kali aku bertemu dengannya saat dia memberikan
kunci apartemen.
Jarum jam menunjukkan angka 5, saatnya untuk
bersiap-siap pulang.
Ku kayuh perlahan sepeda ontelku, menikmati
sang matahari yang kembali ke tempat peraduannya. Indah, coretan warna jingga,
kelabu, hitam mewarnai kanvas langit biru itu. Menambah sejuknya mata memandang
dengan dihiasi gedung-gedung tinggi yang mulai memancarkan sinar kerlap-kerlip
lampunya.
Sepanjang jalan menuju kamar apartemenku, aku
menguap tiada henti, mataku terasa berat tak dapat ku tahan. Segera ku percepat
lajuku, ingin cepat sampai di apartemenku.
Ku rebahkan tubuhku ke kasur, memejamkan
mataku. Membayangkan hal-hal indah yang akan menjadi bunga tidurku.
Aku terbangun, aku baru ingat ada yang
ketinggalan di toko bungaku, yahhh…… handphoneku ketinggalan. Segera aku
bangkit dari tidurku, menuju ke kamar mandi tuk sekedar membasuh muka yang
lusuh. Aku terburu-buru keluar dari kamar apartemenku.
Berdiri mematung menunggu pintu lift terbuka,
dan jrenggggg tak perlu waktu lama pintu lift terbuka. Aku melangkah masuk lift
dan aku tidak sendiri di dalam lift, kulihat ada pria tinggi, putih, tampan,
dan matanya biru. Apa? Matanya biru? Aroma parfumnya? Aroma parfum pria itu
persis dengan aroma parfum……. Orang aneh. Aku menoleh kearahnya lagi, bertanya-tanya,
apakah dia benar-benar orang aneh itu?. Pintu lift terbuka, aku melangkah
keluar, dengan hati yang membutuhkan jawaban.
Ku kayuh sepedaku dengan cepat, sampai
nafasku tersenggal-senggal. Dan pessssssssssss.. ban sepedaku bocor. Aku cek
kodisi ban yang bocor, dan bagaimana tidak mau bocor, bannya tertusuk paku. Aku
melihat sekeliling, tak ada angkutan umum yang terlihat, dan jarak ke toko
bunga masih cukup jauh. Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal, mencoba
mencari cara bagaimana bisa sampai ke toko bunga untuk mengambil handphoneku
dan kembali ke apartemen dengan selamat.
Tiba-tiba mobil Lamborghini Murcielago bergerak
mundur dan berhenti tepat di depanku. Aku menebak-nebak siapa yang akan keluar
dari dalam mobil, pria? Ataukah wanita? Dan siapa dia?
Dan ternyata seorang pria yang keluar dari
mobil Lamborghini Murcielago itu. Dan aku kenal dia, bukankah dia yang
bersamaku di dalam lift tadi, si mata biru. Aku memperhatikan langkahnya,
memperhatikan gerak geriknya yang mendekat ke
arahku.
“Ada yang bisa aku bantu?”, tanyanya kepadaku
dengan senyum di bibirnya.
Aku mengangguk lugu, mataku tak pernah lepas
memandang wajahnya.
“Apa yang bisa aku bantu?”, tanyanya lagi dan
masih dengan senyum yang melekat di bibirnya.
“Ban sepedaku bocor”, jawabku sambil menunjuk
ban depan sepedaku.
Dia melihat ke arah ban yang kutunjuk tadi.
“Aku tidak bisa memperbaikinya”, suaranya
terdengar lirih.
“Tapi, aku bisa mengantarmu ke tempat
tujuanmu”, sambung dengan suara yang semangat.
“T..T..Tapi”, aku berhenti, tak meneruskan
kalimat yang ingin aku lontarkan.
“Tapi kenapa?”, tanyanya penasaran.
“Kau orang asing bagiku”.
“Asing?”, tanyanya dengan nada terkejut
sambil mengerjitkan dahi.
“Bagaimana aku tak lagi menjadi orang asing
bagimu?”, tanyanya lagi dengan senyuman.
Aku terdiam sejenak, bagaimana aku menjawab
pertanyaannya.
“Setidaknya aku tahu namamu”, tiba-tiba
kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku.
Dia tersenyum ramah, mendengar kalimat yang
keluar dari mulutku. Lalu dia menjulurkan tangannya ke arahku, menunggu
sambutan tanganku. Aku menunduk seolah tak melihat apa yang dia lakukan.
Kulirik tangannya yang mulai dia selipkan ke saku celananya.
“Niall
Horan, panggil saja aku Niall”.
Dia membuka pintu mobilnya, menungguku masuk
ke dalam. Aku ragu, aku baru mengenalnya tapi apa boleh buat aku harus
mengambil handphoneku yang ketinggalan di toko bunga. Aku melangkah
mendekatinya, dan berhenti sejenak.
“Lalu, bagaimana nasib sepedaku?”.
“Tinggalkan saja disini, nanti temanku akan
mengurusnya”, pintanya.
Ku lihat dia mengambil handphonenya di saku
celananya, menelfon seseorang, entah apa yang dibicarakannya, suaranya tak
terdengar olehku yang berada di dalam mobil.
Deru mobilnya terdengar, kami melesat di
kegelapan malam.
“Kemana tujuannmu?”, tanyanya memulai
pembicaraan.
“Ke toko bunga, di persimpangan kota”.
Dia mengangguk seolah mengerti dan tahu
tujuanku. Suasana kembali sunyi tanpa kata-kata, tanpa pembicaraan, seolah-olah
aku dan dirinya menjadi bisu mendadak.
“Dimana?”, tanyanya lagi setelah berada di
persimpangan.
“Disitu, nomer 29”, aku menunjuk salah satu
toko yang berjajar disana.
Mobilnya berhenti pas di depan toko bungaku,
aku membuka pintu dan segera pergi menuju toko bungaku. Aku meraba-raba kantong
celanaku, berharap menemukan kunci pintunya. Astaga…. Kuncinya tak ada di dalam
kantongku, aku gelisah, memeriksa kantong celana untuk kesekian kalinya tetapi
tetap nihil, kuncinya tak ada. Aku baru ingat, tadi aku terburu-buru menuju
kesini, dan lupa tak membawa kunci pintu toko bungaku.
Aku menoleh ke belakang, ke arah si mata biru
berada. Kulihat dia sedang berdiri bersender pada pintu mobil. Aku kembali
menatap pintu toko bungaku, seandainya aku tidak lupa membawa kuncinya, pasti
aku sekarang sudah berbalik pulang.
Aku berjalan menuju ke arahnya, menjauhi
pintu toko bunga yang tetap terkunci rapat.
“Sudah selesai?”, tanyanya.
“Belum”, jawabku datar.
“Lalu kenapa kau kembali, kau bahkan belum
membuka pintunya?”.
“Itu masalahnya”.
Dia terlihat sedikit bingung dengan jawabanku
atas pertanyaannya.
“Aku tak bisa membuka pintunya”, sambungku
Aku menundukkan kepalaku, seakan merasa malu
kepadanya atas kecerobohanku dan membuat aku terlihat bodoh di depannya.
“Kunci pintunya tertinggal”, sambungku lagi.
Dia terlihat mengangguk mengerti.
“Lalu apa yang akan kau lakukan? Kembali
mengambil kuncinya atau….”,
“Aku akan mengambilnya besok, aku tak ingin
merepotkan orang lain, apalagi orang yang baru aku kenal”, aku memotong
pembicaraannya.
“Kalau begitu, mari aku antar kau pulang”.
Aku hanya bisa mengangguk.
Mobilnya melesat cepat, meninggalkan wujud
toko bungaku.
“Kemana aku akan mengantarmu?”.
“Bukankah kita pernah berada di dalam lift berdua
di salah satu apartemen”, kataku mengingatkannya.
“Jadi, disana kau tinggal”.
“Iya”.
Selang tak berapa lama mobilnya sudah berada
di depan apartemen. Aku turun dan tak lupa mengucapkan terima kasih padanya.
“Terima kasih banyak Ni….”, aku berhenti tak
meneruskan kalimat yang keluar dari mulutku, aku lupa namanya.
“Niall”, sambungnya.
“Terima kasih banyak Niall”, kataku
memperbaiki kalimat tadi, dan dia masih berada di dalam mobilnya.
“Sama-sama”.
Aku tersenyum padanya dan segera membalikkan
tubuhku dan berjalan menuju ke kamar apartemenku. Aku menoleh ke belakang, dan
kulihat dia sudah menghilang bersama mobilnya.
Aku hempaskan tubuhku ke kasur, nasib apa
yang sedang terjadi padaku sekarang. Niall, Niall Horan, kenapa sekarang
namanya ada di fikiranku. Bahkan rasanya tak ada yang aku fikirkan kecuali nama
dan wajahnya saat ini. Si mata biru yang memukau, Ada apa denganku?
Aku memejamkan mataku, ingin kembali
melanjutkan mimpiku yang terpotong karena terbangun tadi.
***
Alarm berbunyi,
menciptakan suara bising yang memekakkan telinga. Aku terbangun dengan mata
masih ingin terpejam, perlahan tapi pasti, aku membuka mataku. Segera aku
mandi, membersihkan tubuhku.
Aku siap berangkat ke
toko bungaku, dan saat aku membuka daun pintu apartemen, aku mengingat sesuatu.
“Ya.. Ampun. Bagaimana
aku bisa lupa hari ini ? Hari ini tanggal 14 Februari dan banyak pesanan bunga
sekarang. Oh… tidak, sudah jam berapa sekarang?”, aku memaki diriku sendiri
karena keteledorannku.
Aku melirik arloji di
tangan kiriku, arloji pemberian Ayahku.
“Astaga ini sudah
hampir tengah hari”, kataku kaget.
Aku lupa kalau tadi
malam aku merubah settingan alarm, ah…. Pantesan kalau sekarang bangun
terlambat.
“Jadi, jangan salahkan
siapa-siapa Akira, kau sendiri yang melakukan kecerobohan ini”, kataku dalam
batin.
Segera aku keluar dari
apartemen, dan langsung menuju tempat sepedaku terparkir.
“Astaga… OMG…. Ya,
Ampun”.
Betapa terkejutnya
melihat sepedaku tak ada di tempat dimana biasanya aku parkir. Aku mencarinya
kesana kemari, aku bertanya pada orang disana tapi tak ada satupun yang tahu.
Rasanya aku mau
menangis, menjeritttt. Bagaimana tidak mau menangis, tidak mau menjerit, aku
sudah bangun kesiangan, pelanggan yang memesan jauh-jauh hari bunga untuk
pasangannya akan marah karena aku terlambat mengantarkan bunga pesanan mereka,
dan ditambah lagi sepeda yang tak tahu wujudnya ada dimana? Ya…. Tuhan kenapa
harus hari ini? Kenapa harus dihari kasih sayang ini aku begini?
Air mataku mengalir tak
kuat kubendung.
“Akira, mengapa kau
menangis. Tuhan tak akan memberikan cobaan kepada makhluknya diluar
kemampuannya. Hanya hal sepele begini, kau sudah meneteskan air mata. Katanya
kau wanita yang kuat dan tegar, tapi kenapa saat ini kau menangis, seperti anak
kecil yang kehilangan mainannya. Stop Akira, kamu tidak seharusnya menangis
hari ini. Sekarang hari kasih sayang, dan Tuhan menunjukkan rasa kasih
sayangnya sekarang padamu”, aku berkata pada diriku sendiri, mencoba memberi
motivasi sendiri.
Kuhapus air mataku dan
segera aku menunggu taksi. Ah…. Tidak jangan taksi, terlalu mahal untuk
kubayar. Angkot saja… Hmm.. akan lama jika naik angkot. Terpaksa aku berjalan
kira-kira 50km, menuju pangkalan ojek.
Ya aku naik ojek,
meskipun panasnya bukan main. Sesampainya di toko bunga, aku merasakan dengkul
kakiku sakit, pasti lecet gara-gara tadi bersentuhan dengan body mobil.
Arghhh…. Kesialanku tak berhenti disini, aku bingung bagaimana cara
mengantarkan bunga-bunga pesanan jika tak ada sepeda ontelku. Argghhhhhh… aku
menjambak rambut ku sendiri.
Aku melihat kotak masuk
lebih dari 20 di handphoneku yang tertinggal di toko bunga, ditambah lagi
missed call lebih dari 10, di BBM pun juga begitu.
Aku menundukkan
kepalaku, hari ini aku sial. Kemana si mata biru itu membawa sepedaku, jika
saja sepedaku tak ada pada dirinya pasti aku sudah selesai mengantarkan
bunga-bunga pesanan.
Ku nonaktifkan
handphoneku, aku tak ingin memikirkan bunga-bunga pesanan yang tak ku antarkan.
Dan aku tertidur… di toko bunga.
“Permisii, permisiii”.
Terdengar suara
sayup-sayup.
“Permisi”.
Aku terbangun,
mengucek-ngucek mataku dan segera menghampiri sumber suara itu.
“Kau?”, tanyaku
“Iya”, dia menjawab
disertai anggukan kepalanya.
Akupun merapikan
penampilannku, terutama rambut yang acak-acakan karena tertidur tadi.
“Mau membeli bunga?”,
tanyaku tanpa berpikir.
“I-i-i-iya, aku juga
ingin mengembalikan itu”, dia menunjuk ke sepeda yang terpakir disisi jalan
tepat di depan mobilnya.
“Oh… Sepedaku, terima
kasih Niall”.
“Sama-sama”, dengan
senyum yang menghiasi wajah tampannya.
“Kau mau membeli bunga
apa ?”, tanyaku basa-basi.
“Mawar……………………………………..merah”,
dia terlihat masih memikirkan bunga apa yang ingin dibelinya.
“Oh ini, ada yang sudah
dirangkai, ada yang perkuntum. Mau pilih yang mana?”, aku menunjukkan bunga
mawar kepadanya.
“Aku mau yang perkuntum
saja”, dia memilih bunga mawar yang merekah sempurna dan menciuminya.
“Hari kasih sayang,
buat pasangannya yah?”, tanyaku ingin tahu.
Sebenarnya aku tak
ingin menanyakan itu, tapi dari pada penasaran mending aku tanyain aja. Lagian
kan aneh kalo beli bunga di hari kasih sayang ini, dia gak ngasik bunganya ke
pasangannya. Meski rada-rada takut sih, kalau dia jawabnya “Iya”. Bisa patah
hati dong….. L L
L
Kulihat dia hanya
memasang wajah dengan senyumnya yang maut, tak menjawab pertanyaanku. Arghhh….
Jadi gak tau kebenarannya deh.
“Eh.. sorry ya, aku
baru nganterin sepedamu sekarang. Tadi pagi aku menunggumu di lantai bawah
apartemenmu, tapi aku tak melihatmu. Aku kira kau sudah ada di toko bungamu,
jadi tadi pagi aku juga kesini, tapi sial toko bungamu masih tutup”, jelasnya.
“Ah… tidak apa-apa
Niall kau sudah membantuku memperbaiki ban sepedaku yang kempes”.
Meskipun tadi agak
sedikit kesal pada Niall, tapi aku tidak mau dia tahu tentang itu.
“Kenapa kau terlihat
kacau, hari ini?”, dia bertanya menatapku dengan mata birunya, tepatnya menatap
penampilanku yang masih agak acak-acakan.
“Hehehe, tadi aku
ketiduran”, jawabku cengengesan.
“Oh…”, dia
mengangguk-anggukan kepalanya.
“Berapa?”, dia
mengeluarkan dompet kulit warna coklat dari saku belakangnya.
“Ah tidak usah, Niall.
Kau sudah membantuku, bunganya ambil saja”.
“Sungguh?”, tanyanya
masih menatapku.
“He’em”, ku jawab
dengan anggukan.
“Terima kasih……..”,
Niall tak meneruskan perkataannya, seakan dia ingin menyebut namakan namaku di
belakang kata terima kasih.
“Akira, namaku Akira
Hensley”, kataku spontan.
“Terima kasih Akira”,
dengan senyum yang sangat mengembang.
“Sama-sama Niall”, ku
balas dengan senyuman yang termanis, menurutku.
“Apa aku bukan orang
asing lagi bagimu?”, tanyanya menyatukan kedua alisnya membentuk seperti
jembatan suramadu.
“Hemmm….. mungkin iya”,
jawabku malu.
“Kalau begitu saya
pergi dulu”.
Dia membalikkan
tubuhnya berjalan menjauhi diriku.
“Niall”.
“Iya”, katanya menoleh
padaku, menghentikan langkahnya.
Aku mengambil setangkai
mawar merah muda, yang tak jauh dari tempatku berdiri.
“Selamat hari kasih
sayang Niall Horan”, kataku sambil menghampirinya dan menyodorkan setangkai
mawar merah muda padanya.
“Terima kasih, Akira”,
dia mengambil setangkai mawar merah muda yang aku sodorkan ke arahnya.
Aku hanya tersenyum,
mendengar perkataannya.
Dia membalikkan
tubuhnya, dan masuk ke dalam mobilnya. Secepat kilat, mobilnya melaju
menghilang dari pandangan.
Aku menuntun sepedaku
yang berada di tepi jalan, memindahkannya ke depan toko bunga.
Kenapa………? Kenapa tadi
aku memberikannya bunga, dan mengucapkan selamat hari kasih sayang?
Aku tidak memikirkan
tindakanku matang-matang, bahkan tadi dia hanya berterima kasih tanpa membalas
tindakanku. Setidaknya dia harus bilang selamat hari kasih sayang juga kepadaku,
meskipun tidak dengan bunga.
Argh… kenapa begini?
Tapi sudahlah, mengapa
aku harus menyesal. Toh sekarang aku tidak bisa menarik ulang perkataanku tadi.
Ah… Niall Horan.
***
Aku
pulang dari toko bungaku, menyusuri jalanan yang tampak ramai, ah… bukan tampak
ramai lagi, tapi ramai sekali. Yah… para pekerja kantoran jam segini biasanya
pulang dan membuat suasana jalan menjadi ramai karenanya.
Angin sepoi-sepoi
menerpa, menyejukkan meskipun suasana hati saat ini tak sesejuk angin yang
menerpa karena kejadian tadi pagi. Masih di suasana hari kasih sayang, kulihat
sepasang kekasih sedang meramu kasih di restoran pinggir jalan, aku melihatnya
karena kaca restoran yang tembus pandang.
Aku menggoes sepedaku
dengan santainya sambil mendengarkan music dengan memakai headset di telingaku,
mencoba melupakan kesialanku tadi pagi.
Dan jrtttt, aku menarik
rem tangan sepedaku, ku lihat sosok seorang yang kukenal berada tak jauh di
depanku.
“Niall ?”, ucapku
lirih.
“Benarkah dia ?”,
sambungku lagi.
Yah… aku melihat Niall
sedang membukakan pintu mobil, siapa yang dia bukakan pintu? Aku mencoba
menyimak apa yang terjadi, dan kau tahu siapa yang keluar di dari mobil sport
merah itu, yang Niall bukakan pintu, yap… kau benar. Perempuan, dengan body
aduhai, tinggi semampai, putih bersih dan yang pasti cantik, tidakkk.. bukan
cantik tapi lebih tepatnya perempuan itu cantik sekali.
Niall memakai kemeja
warna biru, terlihat kancing kerahnya terbuka, dan si perempuan itu memakai
dress pendek di atas lutut dengan warna yang senada dengan Niall Horan.
Aku memanyunkan bibir
seksiku (menurutku), siapa dia? Kekasih Niall? Ah…
Niall menggandeng
perempuan itu, masuk ke restoran makanan Itali. Kelihatannya mereka sangat
cocok, pasangan serasi.
Aku menggigit jariku,
bagaimana bisa aku jatuh cinta pada Niall ? Niall mempunyai selera yang tinggi
untuk seorang kekasih. Aku? Yah beginilah aku, kata ayah sih aku itu cantik
kayak ibu. Tapi dibandingkan dengan perempuan yang digandengnya, aku itu ibarat
itik dan perempuan itu ibarat angsa. Jadi antara itik dengan angsa.
Aku menghela nafas,
mencoba menerima kenyataan. Mungkin memang dia cinta pertamaku, tapi kan ada
yang bilang, kalau cinta tak harus memiliki.
Aku mengubur cinta
pertamaku sedalam mungkin. Tak mungkin bagiku menyaingi seekor angsa, yang wujudnya
sangat sempurna.
Kembali ku kayuh
sepedaku, melewati restoran yang di masuki Niall bersama perempuan itu.
“Hmmm mungkin bunga
mawar merah itu untuknya, untuk perempuan itu. Pantesan saja, dia tak
membalasnya dengan ucapan selamat hari kasih sayang padaku tadi, mungkin dia
hanya ingin mengucapkan itu kepada kekasihnya”, gumamku.
***
Aku menyibukkan diri di
kamar bermain game yang ada di handphoneku, sesekali milirik ke arah jam weker,
ah… masih jam 8 malam.
Biasanya aku tidur jam
9 malam, jadi masih tinggal sejam lagi.
Tingtung……tingtung…..
Ada yang menekan bel
kamar apartemenku. Siapa? Aku tidak merasa ada janji dengan seseorang.
Aku membuka daun pintu,
dan kulihat sosok lelaki paruh baya membawa bunga di tangannya.
“Benar ini dengan Nona
Akira”, tanya lelaki itu padaku.
“Iya, ada apa ya pak?”.
“Ini ada kiriman bunga
untuk Anda, silahkan terima dan tanda tangan disini”, lelaki itu memberiku
sekuntum mawar merah yang dibawanya, dan menyodorkan kertas kecil untukku tanda
tangani.
“Terima kasih pak”, kataku
dengan senyum.
“Sama-sama”, jawabnya.
Aku menutup daun pintu
kembali, dan menguncinya.
Menciumi bunga mawar
itu, hmmmm harum J. Aku
mengambil kertas yang melekat pada tangkainya. Ku baca seksama. Hanya
bertuliskan (Selamat Hari Kasih Sayang Akira) tak ada keterangan nama
pengirimnya.
Dari siapa? Ibu? Tak
mungkin ibu, ibu tak akan mengirimkan bunga mawar merah kepadaku, karena ibu
tahu kalau aku suka dengan bunga krisan putih.
Hmmm mungkin ini dari
fans gelapku, hah sejak kapan aku punya fans gelap?
Kalau aku terus-terusan
memikirkan dari siapa bunga ini, bisa-bisa rambutku rontok. Aku menaruhnya di
samping bunga krisan putih kesukaanku, aku tak ingin membuangnya karena aku
ingin menghargai pemberian orang yang mungkin tak ku kenal.
***
Mentari pagi beri salam
lagi, suara burung menyambut hari berganti. Seperti biasa aku berangkat menuju
toko bungaku, kemarin aku seharian sudah merugi, sekarang tak ada lagi hal itu.
“Ah hari ini melelahkan
sekali, untung semua pesanan bunga sudah selesai ku antar. Jadi, aku bisa
beristirahat sejenak”, kataku pada diriku sendiri.
Aku duduk di kursi
depan toko bungaku, menghadap ke arah jalan raya. Menikmati sausana jalan
dengan terik matahari yang setia bersama.
Tiba-tiba mobil Lamborghini Murcielago berhenti di depan tokoku.
“Itu kan mobil Niall, ada apa dia kemari?”, tanyaku dalam batin.
Aku memperhatikannya, dia tersenyum padaku saat dia melihatku. Niall
berjalan menghampiriku.
“Apa aku mengganggumu?”, tanyanya.
“Tidak”, jawabku singkat.
“Aku ingin mengajakmu keluar nanti malam. Bisa?”.
“Keluar, ngapain?”, kataku dengan nada sok cuek.
“Hmmm……”, dia terlihat memikirkan jawaban dari pertanyaanku.
“Sebagai tanda terimakasih”, ucapnya.
“Terimakasih? Untuk apa?”.
“Karna kau sudah tidak mengganggapku orang asing”.
“Hanya itu?”.
“Iya”.
“Ok”.
“Ok”.
Aku tersenyum kearahnya, menatapnya ke arah mata birunya. Apa yang
sedang dipikirkannya? Mencoba mencari jawaban itu.
“Eeee kalau gitu, aku permisi dulu”, pamit Niall.
“Hati-hati Niall”.
Niall meresponnya dengan senyuman di wajahnya dan mengangkat jempol di
tangan kanannya. Dan dia pun menghilang bersama mobilnya.
“Kali ini apa yang dipikirkannya? Bukankah aneh dia mengajakku keluar
nanti malam hanya karena alasan sepele seperti itu. Hmmmm… nanti malam aku
harus bertanya tentangnya, tentang kemarin yang aku lihat. Aku ingin kejujuran
dari dirinya”, aku berbicara pada diriku sendiri.
“Ah… sial, aku akan menunggunya dimana nanti malam? Dia kan tidak tahu
kamar apartemenku. Dasar Akira ceroboh. Hmmmm sepertinya nanti malam rencananya
akan gagal”, kataku manyun-manyun.
***
Aku sudah bersiap, sekarang tinggal menunggu dia datang. Aku memakai
dress selutut warna kuning yang baru aku beli tadi sepulang dari toko bunga
dengan sedikit make up. Memang sedikit risih sih untukku karena aku yang tak
biasa memakai baju terbuka seperti ini, biasanya sih aku memakai kaos atau
kemeja dipadu padankan bersama celana jeans panjang, tapi kali ini aku ingin
mengikuti selera Niall.
“Aku tunggu Niall di lantai bawah saja, Niall kan pernah bilang waktu
dia mau ngembaliin sepedaku dia menungguku di lantai bawah”, gumamku.
Aku memakai sepatu boot warna cokelat yang tidak terlalu tinggi.
Highheels, jangan harap aku memakainya karena aku tidak suka.
Aku mengambil tas kecil dan segera aku menuju lantai bawah.
10 menit… 20 menit… 30 menit… 60 menit.
Kau tahu kan rasanya menunggu seseorang itu, 10 menit sudah seperti tlah
berjam-jam menunggu apa lagi 60 menit aku menunggunya. Mukaku berubah masam,
jangan-jangan dia hanya mempermainkan aku? Ah… kenapa aku terlalu bodoh untuk
itu? Aku gelisah memikirkannya, mondar mandir gak jelas.
“Hey Akira”, sapa Niall dari luar bangunan apartemen.
Niall berjalan ke arahku. Aku hanya diam menatapnya, masih dengan muka
masamku.
“Kau sudah lama menungguku?”,tanyanya padaku.
Aku tidak menjawabnya, hanya diam.
“Maafkan aku Akira, aku lupa memberitahumu kalau kita akan jalan jam 8”,
jelas Niall.
Aku melihat mukanya yang melukiskan rasa penyesalan, aku tersenyum
padanya. Mungkin aku yang terlalu antusias dalam hal ini.
“Tidak apa-apa, bukan salahmu”, ucapku dengan senyuman.
“Kalau begitu, ayo”.
Dia mengajakku, memegang pergelangan tanganku menuju ke tempat mobilnya
terparkir.
“Silahkan”.
Niall membukakan pintu mobil untukku.
“Terimakasih”.
Aku da Niall melaju meninggalkan bangunan apartemen tempat aku tinggal.
“Kita mau kemana?”, tanyaku memulai pembicaraan yang dari tadi hanya
suasana sepi sejak pertama melaju.
“Entahlah, aku tidak memikirkannya”, kata Niall sambil menggaruk-garuk
kepalanya.
“Bagaimana Niall tidak mikirkan hal ini? Dia mengajakku keluar tapi tak
tahu mau dibawa kemana. Cowok apaan sih dia? Apa karena dia mengajakku, dia tak
memikirkan kemana dia akan membawaku. Ah…. Niall kau membuat aku kecewa lagi”,
kataku dalam hati.
Dia menghentikan laju mobilnya, di sebuah restoran cepat saji.
“Kau akan memesan apa?”, tanyanya padaku.
“Maksudmu?”, aku balik bertanya padanya.
“Aku mau memesan kentang goreng dan sosis goreng teriyaki, kau mau pesan
apa?”.
“Aku kira kita akan makan disana”, aku menunjuk ke arah meja restoran
yang kosong.
“Oh tidak, kita tidak akan makan di meja itu”, ucapnya.
“Kau mau pesan apa?”, tanyanya lagi.
“Sama sepertimu”, aku menjawabnya dengan nada datar.
“Ok, kau tunggu disini”, pintanya.
Dia bahkan tidak mengajakku, tapi menyuruhku tetap disini, di dalam
mobil.
Hemm bete banget tahu, malam ini. Kemarin waktu aku liat dia bersama
perempuan dia terlihat baik-baik saja, dia terlihat santai dan happy. Tapi,
mengapa sekarang dia terlihat tidak baik-baik saja, bahkan dia mengajakku tapi
tidak memikirkan kemana dia akan mengajakku, dan lagi dia memesan makanan cepat
saji tapi tak memakannya di tempat, aneh kan yah benar-benar aneh.
“Maaf lama”, katanya sambil membawa dua kantong plastic berisikan
makanan yang dipesan tadi.
“Tak apa”, kataku datar.
Aku mengambil makanannya dan menaruhnya di kursi belakang.
Dia menyalakan mobilnya, deru mobilpun terdengar olehku. Dan kita pun
melaju meninggalkan resotoran cepat saji.
Sausana kembali sepi, membisu seperti semula. Aku tak ingin memulainya,
memulai lagi pembicaran, aku sudah cukup bete karena ulahnya.
Niall menghentikan mobilnya di bahu jalan. Mengajakku keluar dari mobil
dan membawa makanan yang telah dipesan tadi.
“Kita mau kemana?”, tanyaku.
“Kesana”, jawabnya sambil menunjuk ke kursi yang berada tepat bahu
jalan.
Dia membawaku ke jembatan besar yang di bawahnya sungai yang besar pula,
dimana aku bisa melihat kota yang kutinggali selama ini dalam suasana malam.
Kerlap kerlip lampunya menyinari gelapnya malam di kota. Aku duduk di
sampingnya menghadap ke kota.
“Dari mana kau tahu tempat ini?”, tanyaku.
“Dari seseorang”.
“Apa seseorang itu sangat berharga untukmu?”.
Dia memandang ke arahku sejenak dan kembali memandang ke arah kota.
“Sangat berharga”, jawabnya.
“Oh…. Kau suka makanan Itali ya?”.
“Kenapa kau bertanya tentang itu”.
“Karena aku kemarin melihatmu”.
“Melihatku, dimana?”.
“Di restoran Itali bersama wanita”.
Dia tersenyum mendengar ucapanku tadi.
“Mengapa tersenyum? Apa ada yang lucu?”, aku mengerjitkan dahiku.
“Tidak, kau sendiri?”, tanyanya.
Dia mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Aku lebih suka makanan Indonesia”.
Dia hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
“Kau belum menjawab pertanyaanku”, kataku.
“Aku tidak perlu menjawabnya”.
“Kenapa?”.
“Cepat makan makanannya, mumpung masih hangat”.
Aku hanya bisa diam, dia tak mau menjawab pertanyaanku. Ku penuhi
mulutku dengan makanan yang iya pesan.
Uhukkk… uhukkk… aku batuk karena makanan yang dimulutku.
Niall terlihat membukakan minuman soda untukku.
“Ini, makanya pelan-pelan”, dia menyodorkan minuman soda yang telah dia
buka tadi.
Segera aku meminumnya.
“Terima kasih”.
“Sama-sama Akira”.
“Akira”.
“Iya”.
“Bisakah kita berteman?”.
“Berteman? Mengapa tidak”, jawabku.
Dia tersenyum lebar kearahku,
“Terima kasih”.
“Kau terlihat bahagia”.
“Iya, karena aku punya teman sepertimu”.
“Sepertiku memangnya kenapa aku?”.
“Sedikit….”, dia tidak meneruskan perkataannya, mengangkat telunjuknya
dan memutar-mutarkan di depan keningnya, dan kulihat senyum sedikit menghina ke
arahku.
Aku tidak mengerti apa yang diucapkannya, tapi aku tak ingin tahu karena
aku bahagia bisa menjadi temannya.
“Jangan tersenyum seperti itu, aku tidak suka”, pintaku.
“Bukankah senyumku indah?”, kata Niall dengan bangganya.
“Siapa bilang”.
“Para wanita”.
“Mungkin wanita yang bilang seperti itu tidak bisa melihat kenyataannya”,
aku tersenyum mengejek kepadanya.
Niall tanpa kau memberitahuku bahwa senyummu itu indah, aku sudah tahu
apalagi dengan mata birumu itu, itu lebih dari indah.
“Akira”.
“Iya”.
“Apakah kau ingat, kau pernah tidak jadi naik lift saat kau melihatku di
dalam lift?”.
“Seingatku tidak”.
“Kau pernah berlari menjauhi lift gara-gara melihatku”.
“Oh… tunggu tunggu tunggu jadi itu kau? Ya ya ya kali ini aku ingat. Kau
orang yang berpakaian aneh itukan, serba hitam”, kataku.
“Aneh, apa aku terlihat seperti itu sehingga kau lari dariku?”.
“Kau sangat aneh, bahkan aku sempat mengira kau orang jahat”.
Tawanya pecah, baru kali ini aku melihatnya tertawa seperti itu.
“Kenapa kau tertawa?”, tanyaku penasaran.
“Kau ini lucu sekali, masak aku tampan begini kau bilang seperti orang
jahat”.
“Heh… kalau penampilanmu seperti ini aku takkan mengiramu seperti itu”.
“Jadi kau mengakui kalau aku tampan?”.
Iya Niall tanpa kau bertanya, aku sudah mengakuimu kalau kau tampan
bahkan sangat tampan.
“Enggak, aku gak pernah bilang kalau kau tampan”.
“Ayo ngaku”.
“Apaan sih”, kataku sambil aku membenarkan pakaian yang ku kenakan, ini
sedikit risih bagiku.
“Kenapa?”, Niall bertanya kepadaku.
“Aku tidak terbiasa memakai dress seperti ini”.
“Lalu mengapa kau memakainya?”.
“Menurutku, aku akan lebih cantik memakai ini”.
“Tanpa kau memakai ini pun kau sudah terlihat cantik”.
Aku terkejut mendengarkannya, dan mukaku memerah seketika, yahh aku
merasakan perubahan itu.
“Kenapa mukamu merah?”.
“Ah masak sih?”.
“Merah sekali, seperti apel. Aku gigit yah?”.
“Eh sembarangan kau”.
“Oh ya aku belum meneruskan kalimatku tadi, kau cantik bahkan sangat cantik
kalau dilihat dari menara pisa menggunakan sedotan”, seketika dia tertawa.
“Niall, tega”, aku memalingkan wajahku, tak ingin memandangnya.
“Akira”.
Aku menoleh ke arahnya, ternyata Niall sudah menghadap ke arahku saat
dia menmanggilku, dia menyondongkan tubuhnya dan wajah kita sangat dekat, oh
tidak dekat sekali. Jantungku memburu hebat, berdetak tak karuan. Niall
menatapku, dan memegang wajahku. Aku tak bisa apa-apa, aku hanya memandang mata
biru, mata biru yang sangat memukau.
“Kau cantik”.
Kalimat itu yang dia lontarkan. Ah kau tahu rasanya seperti apa?
Seperti muncul dengan seketika sayap di
punggungku yang membawaku terbang ke langit biru.
Aku tersenyum kepadanya.
“Benarkah?”, tanyaku memastikan.
“Sangat benar Akira”, dia menatapku dengan sangat dalam.
“Indah”, kataku spontan.
Dia melepaskan tangannya di wajahku.
“Apanya yang Indah?”, tanyanya penasaran.
“Matamu, mata biru itu”.
Dia menoleh ke arahku, dan terlukis senyuman di wajahnya.
Niall, Niall Horan…. Dia orangnya
humoris, baik, dan agak sedikit romantic, mungkin selama ini dia terlihat
seperti itu karena kita belum berteman kali, atau mungkin dia malu mengeluarkan
kepribadian yang sesungguhnya.
Kami tertawa bersama malam itu, banyak candaan yang kami lontarkan.
Tapi, tetap saja saat aku menanyainya tentang perempuan yang kulihat bersamanya
kemarin, dia tak menjawabnya.
Niall mengantarkanku pulang. Rasanya baru setengah jam yang lalu aku akrab
dengannya, tapi ternyata ini sudah tengah malam.
Niall mengantarkanku sampai ke pintu apartemenku.
“Jadi disini kau tinggal”, kata Niall.
“He’em”, aku membenarkannya.
“Kau sendiri?”, tanyaku.
“Aku tinggal dengan tanteku”.
“Di apartemen ini?”.
“Oh tidak, dirumahnya”.
“Lalu kenapa kita selalu bertemu di apartemen ini ?”.
“Aku kesini menemui temanku, tapi sekarang dia sudah pindah apartemen”.
“Oh… Niall terimakasih untuk malam ini”.
“Sama-sama”.
Aku memencet kata sandipintu apartemenku, dan hendak masuk.
“Bye”, ucapku padanya dengan disertai senyum.
“Bye”, kata Niall.
Dia berjalan menuju lift, dan aku
pun memasuki apartemenku.
“Akira”, teriak Niall.
Aku pun keluar.
“Iya”.
“Perempuan yang kau lihat bersamaku, dia bukan siapa-siapa”.
“Iya”, aku tersenyum bahagia mendengar hal itu.
Aku kembali masuk ke kamar apartemenku, dan sekali lagi dia memanggilku
dengan sedikit berteriak.
“Akira”.
“Iya”.
“Tidak ada”, kata Niall penuh senyuman.
Aku mengerjitkan dahiku, tak mengerti yang dimaksudnya.
“Hanya begitu”, sambungnya lagi.
Aku tersenyum tak mengerti perkataannya.
Diapun menyuruhku masuk kamar apartemen dengan isyarat dan akupun
menurutinya.
Cinta yang tadinya aku kubur, kini cinta itu kembali ke permukaan.
Bersiap untuk tumbuh menjadi cinta yang sesungguhnya. Niall, aku tahu kau yang
terbaik untukku. Dan aku berharap, kau takkan mengecewakanku.
Aku ukir namanya “Niall Horan” di dinding kamar. Berharap jika aku
melihat ukiran tangan itu di dinding, aku akan membayangkan wajahnya,
senyumnya, dam mata birunya yang memukau.
***