- Back to Home »
- CLOSE FRIEND
Posted by : Nayla
Senin, 15 Juni 2015
Close Friend
By: Nailatul Hafifa
Hay… namaku Maira Vanila, nama
panggilannya Maira. Aku sekolah di International High School di Jakarta Barat,
sekolah bergengsi yang banyak diminati para remaja kelas menengah ke atas.
Sebenarnya sih dimana-dimana yang namanya Sekolah Menengah Atas sama saja, yang
berbeda mungkin dari segi kualitas pengajarnya, dan juga iuaran sekolah
perbulannya.
Aku sekarang duduk di kelas 11 Ipa, aku milih
prodi ipa bukan karena otakku yang encer tapi karena kemauan orang tuaku. Mereka
pengen kelak aku jadi dokter. Boro-boro mau jadi dokter, pelajaran biologi saja
banyak bolosnya, ya kalau gak bolos tidur di kelas. Hehehe… kebiasaan buruk dari SMP, anti
biologi.
Sekarang hari pertama masuk setelah beberapa
pekan liburan semester. Dan yap… seperti
biasa aku bangun kesiangan, terlambat lagi kesekolah.
“Pak Min, bukain gerbangnya dong ! ”,
pintaku merengek.
“Waduh.. kamu ini langganan terus”,
kata Pak Amin satpam sekolah.
“Yaelah.. Pak Min kan enak jadi
langganan”, kataku cengegesan.
“Langganan telat”, kata Pak Min seraya
membuka pintu gerbang.
Dengan sedikit rayuan, gerbang yang
tertutup akan selalu terbuka untukku.
“Terimakasih Pak Min, Pak Min baik
deh”, godaku
“Emang baik tiap hari buat kamu”, balas
Pak Min
Baru hari pertama sudah di hukum. Ah…
dasar Bu Tika guru killer. Emang yahh gak ada pengertiannya tuh guru. Aku di
hukum berdiri di luar kelas, kaki kanan diangkat, kedua tangan jewer telinga.
Ahh.. membosankan, gak ada hukuman yang lebih menarik yah? Hukumannya itu-itu
mulu.
Koridor sekolah sepi, aku hanya melamun
menahan pegal di kaki dan tangan. Dan tiba-tiba suara yang tak asing lagi
terdengar membuyarkan lamunanku.
“Pagi”, seraya tersenyum memperlihatkan
lesung pipinya yang membuatnya tambah manis melebih manisnya gula.
“Pagi kak”, jawabku spontan sambil
menebar senyum yang menurutku senyum yang termanis meski tak semanis gula.
Senyumnya itu yang selalu membuat
jantung ini terasa berhenti berdetak. Lesung pipi itu yang membuat rasanya gula
tak semanis seperti biasanya. Dia calon suami masa depanku sedang menyapaku
sekarang, meski kita tak saling mengenal.
Aku mulai tertarik padanya sejak aku
masuk SMA, tepatnya sih pas MOS (Masa Orientasi Siswa) dia jadi ketua osis.
Jadi dia cowok popular di International High School. Karena selain dia mantan
ketua osis, dia juga punya wajah yang tampan, tubuhnya atletis seperti bintang
iklan, kulitnya putih, ramah, sopan, dan super baik. Namanya Dio, Dio
La-ongmanee keturunan orang Thailand. Jadi teringat saat dimana kebiasaan ini
bermula.
###
“Hei tengil kembaliin handphone gue!”,
pintaku
“Ambil kalau bisa”, kata Doni mengejek.
“Awass lu ya”, kataku sambil
mengejarnya.
Aku berlari di sepanjang koridor
mengejar anak tengil yang selalu membuat hariku sial.
Dan tiba-tiba…..
Kedubrakkk…
Aku menambrak seorang laki-laki yang
sedang keluar dari kelasnya sambil membawa setumpukan buku kerja
teman-temannya.
Aku segera memungut buku-buku yang
terjatuh, dan segera ku kembalikan padanya.
“Ehh sorry, gue…..”.
Entah kenapa mulutku berhenti
mengeluarkan kata-kata, OMG ternyata yang kutabrak Kak Dio mantan ketua Osis
yang very very famous itu.Aku menatap wajahnya, dia tersenyum manis melebihi
manisnya gula. Ahhhh aku meleleh dibuatnya.
“Hey..”, kata Kak Dio membuyarkan
lamunanku.
“Ehhh iya Kak, Sorry Kak. Aku gak
sengaja”, jawabku sedikit malu.
“Iya gak papa, sini bukunya”, kata Kak
Dio masih dengan senyum manisnya.
“Oh iya”. Aku menyodorkan beberapa buku
kepadanya.
“Sekali lagi maaf ya Kak”, kataku lagi.
“He’emmm”, jawabnya dengan senyum
sambil berlalu dari pandangan.
“Mai…”. teriak Doni.
“Iya apa?”, teriakan doni membubarkan
semuanya.
“Lu gak mau handphone lu lagi?”, tanya
Doni cengegesan.
“Hehhh ya mau lah”, kataku sambil
melanjutkan aksi kejar-kejaran dengannya.
***
Kringg….. Kringgg….
“Akhirnya bebas juga”, kataku lega.
“Pertama masuk sudah telat. Ngapain lo
semalem, Mai? ”, tanya Mita sahabatku dari SMP.
“Kayak lo gak pernah tau aja”, jawabku
“Ohh… iya iya”, kata Mita
mengangguk-ngangguk mencoba mencerna ucapanku.
“Ke kantin yuk, haus ni”, ajakku
“Sama, gue juga”, kata Mita
Aku dan Mita capcus ke kantin sekolah,
memesan se gelas es the dan mie bakso.
“Eh… Tadi Kak Dio lewat di depan kelas
ya”, tanya Mita.
“Ummmm”, jawabku sambil mengangguk.
“Trus trus gimana?”, Tanyanya lagi.
“Gimana apanya?”, jawabku pura-pura
tidak mengerti.
“Ceritanya”.
“Cerita apa?”, tanyaku pura-purra lagi.
“Ihhhh… Maira. Tau ahhhhh”, kata Mita
cemberut.
“Yaelahh Mita.. ngambek nih?”, godaku
sambil mencubit pipinya.
Mita hanya diam, mungkin dia
benar-benar ngambek kali ini. Mita salah satu dari sekian banyak gadis yang
kagum sama Kak Dio.
“Tadi dia lewat depan kelas dan..…..”,
aku menghentikan pembicaraanku.
Aku menoleh kea rah Mita. Terlihat
wajahnya yang penasaran dengan cerita selanjutnya, aku tersenyum dan dia
membalas dengan memanyunkan mulutnya.
“Dan…….”, kataku membuat Mita
penasaran.
“Dan apa ?”, kata mita mengkerutkan
dahinya.
“Dan seperti biasa, dia nyapa gue”,
kataku sambil mengerjitkan kedua alis ku.
“Uhhhh kenapa sih Dewi Fortuna selalu
berpihak sama lo, kenapa bukan gue sih yang di hukum tadi sama Bu Tika. Uhhh
sebel sebel”, kata Mita dengan mulut penuh makanan.
“Makanya jangan terlalu rajin,
sekali-kali telat dong”, ejekku.
“Yeeee…. Itu mah maunya lo, nyari
temen.”
“Hahahaha”, tawaku pecah.
***
Dor dor dor
“Doni bangun, sayang?”, kata wanita
paruh baya yang tak lain ibunya Doni.
“Ahhhh ma, sekarang kan hari minggu”,
kata Doni membenahi selimutnya.
“Doni lupa ya sama janjinya?”, tanya
ibunya lagi di balik pintu.
“Hmmm iya iya, 15 menit lagi ma”, jawab
Doni tampak lesu.
“Mama tunggu di bawah ya saying”, kata
Ibu Doni seraya meninggalkan kamar Doni.
15 menit kemudian.
“Ma, mana cup cakenya?”, tanya Doni.
“Sarapan dulu sayang”, kata ibunya.
“Ntar ma, kalau sudah nganterin cup cakenya”,
kata Doni tersenyum.
“Ini alamatnya, jangan lupa uangnya ya
sayang”.
“Beres ma, Doni berangkat ma”, kata
Doni berlalu.
Doni anak semata wayang Ibu Rega,
wanita yang menyandang status janda sejak Doni berumur 2 tahun. Mereka hidup
berdua, dan Doni sangat disayang oleh ibunya. Ibu Rega menghidupi kehidupannya
bersama Doni dengan menjual pesanan cup cake.
“Hmmm.. bener gak sih ini rumahnya?”,
tanya Doni dalam hati.
Doni sedikit bingung, alamatnya benar,
nomor rumahnya juga benar. Tapi yang Doni ditemui bukan rumah layak huni tapi
lebih mirip rumah yang sudah lama tak berpenghuni. Gerbang rumahnya saja sudah
di rambati tumbuhan-tumbuhan liar. Rumah yang besar tapi tak terawat.
Dengan penuh kebingungan, Doni
memberanikan masuk ke rumah yang tak terawatt itu. Bunyi gerbang yang
memekakkan telinga terdengar. Rumput-rumput kering berserakan di halaman rumah
itu. Sungguh tak terawat.
Doni memencet bel rumahnya, satu kali
tak ada jawaban, dua kali tetap tak terdengar suara siapa, tiga kali dia
memencet belnya tiba-tiba ada orang yang memegang bahunya. Tubuh Doni serasa
kaku mati rasa, peluhnya bercucuran, mukanya pucat. Dia tampak seperti mayat
hidup. Doni menoleh perlahan, berharap apa yang ada di fikirannya tak terjadi.
Terlihat senyum kakek tua renta,
menyambut tolehannya.
“Pengantar cup cake ya nak?”, tanya
kakek tua renta itu kepadanya.
“Hmm iya, ini kek”, jawab Doni
menyundurkan bungkusan yang berisi cup cake beserta bilnya.
Kakek tua itu menerima dengan senyum
sumringah, tampaknya kekek itu sudah menantikan pesanan cup cakenya.
“Ini uangnya nak”, kata kakek tua
seraya menyodorkan lembaran uang 50 ribu.
“Wahhh kek, gak ada uang recehnya ya?”,
tanya Doni.
“Sudah ambil kamu saja kembaliannya’.
“Ahhh jangan kek”. Kata Dodi menolak.
“Sudah terima saja, anggap uang
ongkosnya”. Kata kakek memaksa.
“Hmm, gini aja kek kalau kakek mesen
cup cake lagi gak usah bayar “.
“Iya nak. Terima kasih”.
“Sama-sama kek”.
Doni pamit pulang kepada kakek tua itu.
Sebenarnya di batinnya tersimpan banyak pertanyaan, tapi ya sudahlah Doni tak
terlalu memusingkan hal-hal aneh itu.
***
“Mai tunggu”.
“Apa’an sih Don?”, tanyaku.
“Pulang bareng yuk”, ajak Doni.
“Ihhhh pulang bareng lo, Ogahhhh”,
kataku ketus seraya meninggalkannya.
“Bilang aja, kalau sebenarnya mau cuman
gengsi yang mau bilang”, ejek Doni.
“Ke-PD.an lo mah”.
“Itu harus”. jawabnya masih dengan
PDnya.
“Sudah sana jauh-jauh dari gue”.
“Ah ngapain jauh-jauh dari lo, kita kan
sehati gak boleh jauh-jauh”.
“Yeeee… ngayal”.
“Hehehe.. jadi gak pulang barengnya?”.
Tanya Doni.
“Gak”. Jawabku singkat.
“Kalau pulang bareng dapet es krim
lohhhh..”.
“Es krim?”.
“Iya”.
“Rasa apa?”.
“Rasa Stoberi”.
“Hmmmmm”.
“Gue gak nawar 2 kali loh”. Kata Dino
dengan nada sok keren.
“Ih dasar tukang suap, ayo cepet
mumpung gue gak berubah pikiran”. Ajakku menerima tawarannya.
“Oke”. Kata Doni sumringah.
***
Kantin sekolah tak pernah sepi, saat jam
istirahat. Tempat siswa siswi mengisi perut mereka dengan berbagai macam
makanan yang tersedia. Begitu juga denganku dan Mita, yang tak pernah bosan
nongkrong di kantin sekolah.
“Hey..”, terdengar suara menyapa dari
belakangku.
Kulihat Mita sumringah sambil memainkan
alisnya, seperti memberi isyarat padaku untuk menoleh ke arah sumber suara itu.
Terlihat sosok tinggi tegap tengah
tersenyum dengan manisnya kepadaku dengan membawa semangkuk mie di tangannya.
“Ehh… iya kak”, kataku
“Boleh gabung gak?”, tanyanya
Aku masih terpesona dengannya, sampai
lupa untuk mempersilahkannya bergabung, dengan sedikit cubitan Mita di
tanganku, aku pun sadar dan mempersilahkannya duduk di sampingku.
“Hmm boleh kak, duduk sini kak”.
Jawabku
“Oh ya.. kita belum kenalan, aku Dio”.
Katanya sambil menjulurkan tangan ke arahku, aku segera menyambutnya.
“Aku Maira, dan dia sahabatku Mita”.
Jawabku sembari tersenyum.
Tanpa Kak Dio memberitahu namanya pun,
aku sudah tahu. Rasanya aku mau pingsan ada di dekatnya. Tercium aroma parfum
Kak Dio yang membuatku terbuai. Ahhh… aku mulai gila kepadanya.
Disitulah awal perbincangan kami, yang
semula hanya menyapa satu kata saja, sekarang banyak kata yang dilontarkan.
Semakin hari, semakin akrab saja antara
aku, Kak Dio, dan Mita.
“Eh.. Mita seandainya Kak Dio suka sama
gue, lo ridho gak?”, tanya ku di sela-sela jam pelajaran.
“Ya ridho- ridhoin aja.” Jawabnya
singkat
“Bukannya lo juga suka sama Kak Dio?”.
“Iya tapi itu dulu”.
“Loh kenapa sekarang kok gak?”. Tanyaku
penasaran
“Gue lagi ngincer adek kelas”.
“What?”. Teriakku spontan
“Hush jangan keras-keras ntar di marahi
Bu Guru”.
“Hehehe iya maaf, habisnya gue kaget.
Beneran yang lo omongin tadi?”. Tanyaku lagi
“Umm iya”. Jawabnya dengan tersenyum.
“Idihh lo Mit, brondong”.
“Biarin”. Kata Mita sambil menjulurkan
lida ke arahku.
***
“Eh tumben lo gak bareng Maira?” tanya
Doni.
“Oh.. Maira lagi jalan sama Kak Dio”,
jawab Mita
“Hahh jalan, sejak kapan mereka saling
kenal?”, tanyanya lagi
“Ahhh… kepo lo”, kata Mita sambil
berlalu meninggalkanku dengan temannya.
“Sejak kapan ya…? Dio dan Maira saling
kenal”, kata Doni dalam hati
“Ahh.. kenapa aku jadi begini, ngapain
aku mikirin hal gak penting seperti ini, lebih baik aku segera mengantarkan cup
cake cup cake pesanan”. Kata Doni dengan penuh semangat.
Doni mengayuh sepeda goesnya, menyusuri
jalanan ibukota. Mengantarkan pesanan cup cake, ke kompleks-kompleks perumahan.
Yahh… beginilah setiap harinya, di sela-sela waktu luangnya Doni sempatkan
untuk membantu ibunya mengantarkan cup cake pesanan. Doni bisa sekolah di
International High School karena beasiswa, karena baginya sekolah di
International High School tanpa beasiswa hanya mimpi yang sulit Doni gapai.
Meskipun hasilnya tak seberapa dari penjulan cup cake tapi dari cup cake inilah
kebutuhan sehari-hari ibunya dan Doni bisa terpenuhi. Sekarang hanya hobi ibunyalah
yang bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
***
Hari ini Kak Dio ngajak aku dinner, ihh
seneng rasanya. Aku memilah memilih pakaian yang cocok untuk aku kenakan, Kak
Dio ngajak aku makan bukan pertama kalinya, tapi sudah sering. Namun bagiku
setiap kali Kak Dio ngajak makan atau jalan, aku bisa heboh sendiri. Kali ini
aku memakai celana jeans sepatu boot dan kaos yang sangat membuatku tampak
casual. Aku tak terlalu suka memakai pakaian yang terlalu feminim, karena itu
tidak menujukkan jiwaku sebenarnya.
Deru mobil terdengar di luar rumah, aku
segera keluar menghampirinya.
“Sudah siap?”, tanya kak Dio yang
tampak mengenakan kemeja biru.
“Umm iya”. Jawabku
Kami pun melaju, menyusuri jalanan
menuju ke salah satu restoran seafood. Disana kami makan malam dengan berbagai
macam olahan seafood yang dipesan. Hmm.. Kak Dio memang cowok pencinta makanan
seafood, meskipun aku yang tidak terlalu suka dengan olahan seafood karena aku
begitu mencintai Kak Dio aku berusaha menyukai apa yang Kak Dio sukai.
Entah kenapa aku merasa sangat nyaman
berada di dekatnya, aku dan Kak Dio semakin dekat. Kayaknya sih… kak Dio juga
suka sama aku (Hehehe ngarep). Aku memandang wajahnya berusaha membaca apa yang
sedang dipikirkannya, dia pun memandangku dengan penuh kelembutan. Oh Tuhan,
hambamu ini memang benar-benar sedang jatuh cinta. Dia tersenyum manis
memperlihatkan lesung pipinya.
“Mai…?” kata kak Dio
“Iya kak?”, aku berhenti memandangnya,
mencoba menyembunyikan mukaku.
“Pulang yuk”. Ajak Kak Dio
“Iya”.
Tak banyak kata yang kami lontarkan
malam ini, hanya ada tatapan-tatapan kelembutan. Malam ini berbeda dengan yang
biasanya, tak ada cerita tak banyak bicara.
***
Dering handphone membangunkanku dari
mimpiku. Aku meraih handphone yang berada tak jauh dari tempat tidurku. Ah..
ternyata si Mita.
“Halo”. Kataku dengan suara khas baru
bangun tidur
“Mai, kita bisa gak ketemu di tempat
biasa sekarang?”. Kata Mita di ujung telpon
“Ada apaan sih? Aku masih ngantuk,
Mit”.
“Ini penting Mai”. kata Mita dengan
nada tinggi.
“Aduhhhh Mita”.
“Gue tunggu lo, setengah jam lagi”.
“Tapi………
Tut tut tut tut
Telponnya terputus, itulah kebiasaan
Mita kalau sudah maunya, mau gak mau harus bilang iya. Aku bangun dengan mata
masih terkatup-katup, rasanya enggan untuk beranjak dari tempat tidur.
***
Ku lihat Mita tengah duduk di taman,
menyembunyikan raut wajahnya. Aku menghampirinya.
“Mit”. Teriakku
Mita hanya melihatku, dia tak menjawab
panggilanku. Entah mengapa? Tak seperti
Biasanya Mita begitu. Aku segera mempercepat langkah kaki, kulihat semakin
dekat wajah Mita semakin murung, bahkan di matanya terdapat air yang
terbendung.
“lo kenapa Mit?”, tanyaku sambil
memeluknya
“Janji ya Mai, lo gak bakalan marah”,
pinta Mita mengiba
“Emangnya ada apa sih?”, tanyaku
penasaran
“Janji Mai, lo gak bakalan marah”, kata
Mita mengulangi perkataanya
“Iya gue janji”,
Mita memandangku dalam-dalam, dimatanya
masih terhisasi dengan bendungan air mata. Aku mencoba menerka-nerka apa yang
akan dia katakana. Tiba-tiba dia memelukku erat, bendungan air matanya tumpah.
Dia menangis terisak-isak.
“Maafin gue Mai”, kata Mita
Aku semakin tak mengerti maksud
perkataannya. Aku mencoba melepaskan pelukan Mita dan memandangnya.
“Ada apa sih Mit?”, tanyaku
“Gue tau apa yang gue lakuin salah Mai,
gue minta maaf”. Kata Mita lagi
“Mit, to the point aja, jangan bikin
gue bingung”,
Tampak Mita mengambil nafas
dalam-dalam, aku hanya bisa memandanginya dengan hati penasaran apa maksud dari
semua perkataanya.
“Orang tua gue ngejodohin gue sama Kak
Dio”, Kata Mita
What….. apa apaan ini? Kok bisa? Sejak
kapan? Mimpi gak sih aku sekarang? Aku
mencubit lengan ku sendiri, terasa sakit bekas cubitan tadi. OMG… ini bukan mimpi,
aku menundukkan kepalaku yang terasa berat,
rasanya aku ingin menjerit. Sesak di dada terasa, sakit di hatipun kini
mulai menjalar seperti dihujam pisau yang tumpul. Aku mencoba menahan bendungan
air mataku yang ingin jatuh membasahi pipi, aku menahan sebisa mungkin. Aku
menatap Mita yang dihiasi rasa bersalah, aku mencoba tersenyum kepadanya, dan
berlagak tegar.
“Ohh.. itu yang mau lo omongin”, kataku
singkat
“Maafin gue Mai”, kata Mita masih
dengan muka bersalahnya
Aku memeluknya erat.
“Sudah jangan dipikirin”, kataku
Aku melepaskan pelukanku.
“Maaf ya Mai”,
“Hustt… ngapain sih minta maaf mulu”,
kataku sambil tersenyum mencoba mencairkan suasana.
“Gue gak bermaksud ngambil Kak Dio dari
lo”,
“Sudah, sudah, antara aku dan Kak Dio
tidak ada apa-apa, jadi gak masalah mau lo pacaran sama kak Dio, mau lo
tunangan sama kak Dio,mau lo nikah sama Kak Dio, semua itu gak masalah karena
aku dan Kan Dio memang tidak ada apa-apa, kita hanya teman saja”, lontarku sok
tegar
“Tapi lo suka sama kak Dio kan?”,
“Gue lebih suka ngeliat sahabat gue
bahagia dan tersenyum karena gue”.
Aku berdiri dan melihat ke pergelangan
tanganku yang dilingkari arloji kado dari Mita waktu aku ulang tahun.
“Aku ada janji sama Doni, aku pergi
dulu”. Kataku
Aku pergi meninggalkan Mita.
“Mai…”, teriak Mita
Aku menoleh kearahnya, dengan senyuman
di wajah.
“Terima kasih”, kata Mita
Aku hanya mengangguk dan berlalu
meninggalkannya.
***
Air mataku tak dapat ku bendung lagi,
mengalir membasahi kedua pipiku. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan
sekarang. Rasanya kedua orang yang kusayang tiba-tiba menhujamku dengan sebilah
pedang. Hatiku hancur mendengar perkataan Mita tadi, hancur menjadi
partikel-partikel atom yang tak dapat aku satukan lagi. Rasa kecewa pun hinggap
menyelemutiku. Ya Tuhan… mengapa ini terjadi disaat mimpi-mimpiku satu persatu
terwujud bersama Kak Dio. Aku menyayanginya, aku juga mencintainya Tuhan tapi
mengapa jalan cintaku tak semulus jalanan aspal di jalan raya. Aku tak tahu
kemana langkah kakiku menuju, semua terasa tak ada yang berarti lagi bagiku.
Aku tak ingin tadi mendengar penjelasan
dari Mita lebih jauh, karena hatiku tak kuasa untuk mendengarkannya lagi. Api
di hati terlalu berkobar. Sebenarnya tadi aku tak ada janji dengan Doni, itu
hanya alasanku saja untuk meninggalkannya.
Aku harus kemana? Ke rumah Doni? Ahh….
Sebaiknya tidak, aku tak ingin dia tahu tentang masalahku ini. Tapi aku tidak
punya pilihan lain, hanya Donilah harapanku sekarang, untuk bercerita sekedar
melegakan hati ini.
Ku ketuk pintu rumahnya, terdengar
suara wanita dari balik pintu.
“Iya, sebentar”, kata wanita di balik
pintu yang tak lain adalah ibunya Doni.
Dia membukakan pintu, terlihat wajahnya
yang terkejut melihatku, mungkin dia terkejut melihat mukaku yang lusuh dan
mataku yang sembab.
“Maira?”, kata ibunya Doni lagi.
“Iya tante”, jawabku lirih
“Ayo masuk”, ajak Ibu Doni.
Dia mempersilahkanku masuk, dan segera
ku rebahkan tubuh ini di sofa lembut yang ada di rumah Doni. Aku di suguhkan
segelah minuman, kutengguk minuman yang di suguhkan sampai habi, rasanya
tenggorokanku sudah bertahun-tahun tak terlewati air.
“Doninya lagi nganterin pesanan cup
cake, Maira tunggu saja ya disini, tante mau kedapur dulu”, kata Ibu Doni
“Iya Tan”, kataku singkat.
Aku hanya melamun, menerka-nerka alur
masalah ini. Bagaimana bisa mereka dijodohkan? Bagaimana ceritanya? Apa ini ada
hubungannya dengan sikap Kak Dio semalam, yang cenderung diam tak banyak
bicara? Ah… kepalaku mulai terasa berat lagi. Aku senderkan kepalaku di sofa,
mencoba munutup mataku rapat-rapat dan mencoba melupakan semua kejadian tadi,
meskipun itu mustahil, hingga bunga-bunga mimpi pun menghampiriku.
“Mai…Mai…..Mai.. bangun”.
Terdengar suara lembut membangunkanku,
tangannya menggoncang-goncangkan tubuhku. Aku pun terbangun dan melihat Doni
berada di sampingku. Aku tersenyum padanya, dan masih berusaha membuka
lebar-lebar mataku yang terasa berat.
“Ngapain sih lo tiduran disini,
emangnya lo gak punya rumah ya?”, tanya Doni
“Aduhh Don”, kataku sedikit merengek
“Eh… tunggu tunggu.. lo habis nangis
ya?”, tanyanya
“Ah sok tau lo”, kataku sambil
mengampil posisi enak untuk duduk.
Aku meregangkan otot-ototku, seperti
biasanya yang orang lakukan sehabis bangun tidur.
“Ihhh.. bukan gue sok tau, mata lo tuh
bengkak”, ejek Doni sambil meninggalkanku.
“Eh mau kemana lo, gue nungguin lo dari
tadi sampai ketiduran”,
“Tidur aja lagi, gue mau mandi, gerah”,
kata Doni dari kamarnya.
Aku pun menggeleng-gelengkan kepala.
Aku tak yakin menceritakan semua masalahku dengannya. Ya ampun, beginikah
nasibku? Terburuk ataukah Terpuruk?.
Ku lihat Doni keluar dari balik pintu
kabarnya, tercium aroma parfum Doni menyeruak.
“Lo mandi apa cuma pakek parfum?”,
tanya ku
“Mandi tau, emang lo mandinya yang 2
jam.”, ejeknya
“Yeeee…”,
“Btw tumben lo kesini?”,
“Hmm gue pengen curhat”,
“Curhat?”, katanya dengan muka tak
percaya
“Tumben lo mau curhat sama gue, emang
Mita kemana?”, sambungya
“Sudahlah… lo sudi apa kagak dengerin
curhatan gue”,
“Ummm wani piiiro?”, kata Doni sambil
mengejekku
“Cibu”,
“Hahahahah…”, tawa Doni pecah
“Gimana?”, tanyaku
“Ummm okelah kalau begitu”, jawabnya
dengan muka sok lucu.
Doni duduk disampingku, kulihat di
antusias ingin mendengar curhatanku.
“Lo tau kan gue suka kak Dio?”, tanyaku
“Umm”, dia mengangguk
“Lo juga tau kan gue sama kak Dio
deket?”,
“Umm”, dia kembali mengangguk.
“Lo juga pasti tau gue sering jalan
sama kak Dio?”,
“Ummm”, dia menggelengkan kepala
“Ahh sudahlah kalau lo gak tau?”,
“Ini cerita apa quiz sih? Pertanyaan
mulu dari tadi”, katanya menggaruk kepala
Aku hanya tersenyum dibuatnya.
“Gini, tadi Mita pagi-pagi minta
ketemuan di taman. Katanya sih ada hal penting yang mau dibicarain. Yah.. pas
gue ditaman, gue sudah liat muka Mita yang tak ceria, dan dia hampir menangis,
kulihat genangan air di matanya. Dan lo tau hal penting itu apa?”,
“Gak”, jawab Doni singkat dengan muka
polosnya
Aku menghela napas panjang, sebelum ku
lanjut ke cerita selanjutnya.
“Mita bilang dia di jodohin orang
tuanya sama Kak Dio”,
“Dio?”, tanyanya
“Umm”, aku mengangguk sebanyak mungkin
“Wait… intinya lo sekarang patah
hati?”, tanyanya lagi
“Umm”, sekali lagi aku mengangguk
sebanyak mungkin dengan raut wajah yang sedikit masam.
“Ahhhh…”, Doni memukul sofa keras-keras
“Kenapa lo?”,
“Jadi sekarang Mita dijodohin sama
Dio?”,
“i-iya”, jawabku tak mengerti
“Huuuuhhh”, dia menghembuskan napas
panjangnya
Aku tidak mengerti dengan Doni, aku
hanya memperhatikan tingkahnya.
“Lo tahu?”, kata Doni dengan nada
tinggi mengangetkanku
Aku hanya bisa menggelengkan kepala.
“Gue juga patah hati”, katanya dengan
nada lirih disertai dengan wajah masam yang dia coba sembunyikan dariku.
“Hahhhh, maksud lo, lo itu…..”,
“Hmmm yap… betul”,
“betul??”,
“Iya betul. Lo mau bilang kalau gue
suka sama Mita kan?. Iya itu betul betul betul , betul 100%”, katanya menyakinkanku.
Aku menggaruk-garuk kepalaku, mencoba
mencerna semua ini.
“Sejak kapan lo suka sama Mita?”,
“Sejak gue kenal Mita”,
“Trus kenapa lo gak pernah ngungkapin”,
“Nah, itu dia.. gue terlalu takut untuk
menyatakan semua perasaanku padanya, di tambah lagi gue takut Mita nolak gue”,
“Ya.. ampun, kebetulan banget yah
sama-sama patah hati dalam waktu yang sama”,
“Umm”,
***
Hujan deras mengguyur Ibukota, malam
yang dingin menemaniku dalam kesendirian. Aku membenahi selimut, merehatkan
tubuh yang lelah terbebani hari ini. Tiba-tiba dering ponselku berbunyi, ku
raih polsel yang berada tak jauh dariku. Ku lihat sederetan huruf yang
membentuk kata DIO dilayar ponselku. Aku ragu untuk mengangkat telpon darinya,
rasanya tak ingin lagi berhubungan dengannya. Ku biarkan saja, mengabaikan
telpon dari Kak Dio. Tapi lagi-lagi ponselku berbunyi, kembali ku lihat
sederetan huruf yang membentuk kata DIO dilayar ponselku. Hmmm aku meraih
ponselku ragu-ragu, dan sedikit berfikir apakah aku akan mengangkatnya atau
mengabaikannya lagi? Dan aku putuskan untuk mengangkatnya.
“Halo”, kataku
“Halo Mai”, kata Kak Doni di ujung
telpon dengan suaranya yang sangat aku kenal.
“Iya kak”,
“Bisa keluar sebentar Mai, aku ada di
depan rumahmu”, pintanya
Jedeg.. hujan-hujan gini kak Dio ada disini,
mau ngapain? Segera aku keluar dari kamarku, menuju ke luar rumah yang ada Kak
Dio disana.
Kulihat Kak Dio basah kuyup, terkena
hujan.
“Kakak ngapain disini hujan-hujan?”,
tanyaku
***
Haciuuu… Haciu…
Ahh.. gara-gara semalam hidungku jadi bermasalah.
Sebenarnya kalau sudah begini, ke sekolah pun jadi malas dibuatnya. Tapi… tetap
ku putuskan ke sekolah, karena sekarang ada ulangan biologi. Kalau aku gak
masuk, aku gak akan ikut ulangan, dan nantinya akan ikut ulangan biologi
susulan. Trus kalau ikut ulangan biologi susulan gak bisa tolah-toleh soalnya
ngerjainnya di ruang guru, idihhh kan serem kalau gak bisa tolah-toleh, sudah
dipastikan ulanganku dapet telur besar alias nol. Amit-amit dehhh, sudah
keseringan aku dapet telur besar, hari ini jangan lagi.
Aku berjalan dikoridor dengan hidung
yang bermasalah, tertatih menahan kantuk menahun.
Ku lihat Mita yang sudah menungguku
dengan senyum terpasanya.
“Mai, maafin gue yah?”, katanya
“Sudahlah jangan di bahas lagi”, kataku
“Hemmm”, kata Mita
“Eh.. pulang sekolah yuk ikut gue ke
dokter”, ajakku
“Hmm.. bukannya gue mau nolak sih, tapi
gue mau ke rumah kak Dio”, kata Mita
Aku menoleh ke arahnya, mencoba
menemukan jawaban.
“Kak Dio sakit”, sambung Mita
“Hahhhh.. Kak Dio sakit? Apa karena
kejadian semalam? Ahhh kasian Kak Dio”, kataku dalam Hati
Mendengar perkataan Mita tadi tentang
Kak Dio, mengingatkanku tentang kejadian semalam.
***
“Mai, aku mau ngejelasin semuanya’,
kata Kak Dio ditengah-tengah hujan
Tanpa berpikir panjang, aku langsung ke
dalam mengambil sesuatu.
“Kak Masuk yuk”, ajakku di bawah
payung.
Kak Dio langsung memelukku erat di
tengah-tengah hujan yang turun. Kurasakan dinginnya tubuh Kak Dio yang
mendekapku. Payung yang ku pegang pun terlepas dari tangan, aku balik
memeluknya erat.
“Aku mau ngejelasin semuanya”, kata Kak
Dio lirih.
Aku mencoba melepaskan pelukan itu,
namun pelukannya terlalu erat untuk ku lepaskan.
“Apanya yang mau dijelasin Kak?”,
tanyaku dalam pelukannya
“Semuanya Mai”,
“Sebaiknya kita masuk ke rumah saja”,
Kak Dio melepaskan pelukannya. Ku raih
payungku, dan mengajaknya ke dalam rumah.
Kita berdua basah kuyup, aku ambilkan
handuk dan memberikannya ke Kak Dio sekedar mengeringkan tubuhnya yang basah.
Kak Dio menatapku dalam-dalam member
arti dalam setiap tatapanya.
“Kakak gak bermaksud nyakitin kamu Mai,
Kakak…”
“Ssssstttt”, tangannku menyentuh bibir
Kak Dio
“Jangan bahas itu lagi, aku sudah cukup
pedih mengingatnya”, sambungku.
“Tapi kau akan salah paham dengan
keadaan ini” , kata Kak Dio.
“Kak Dio tidak ada kesalahpahaman
disini, yang aku tau Kak Dio di jodohkan dengannya, dan aku tidak mau tahu
alasan mengapa ini terjadi”,
“Mai, maafin aku”,
Aku tersenyum padanya suara itu seakan
membuat masalah hilang, tapi sejenak aku berfikir dia akan menjadi milik sahabatku,
dan aku takkan pernah bisa memilikinya.
“Kak, aku titip Mita ya jangan sakitin
dia, karna aku gak rela kalau itu terjadi”, kataku dengan melempar senyum
kepadanya.
“Aku berjanji untukmu”, dia membalas
dengan senyum.
***
“Lo beneran Mai, mau pindah ke
Jerman?”, tanya Mita padaku.
“Hemmm”, jawabku dengan senyuman
“Lo mau pindah bukan gara-gara masalah
kita kan?”
“Yaa gak lah Mit, bokap gue ada kerjaan
disana, nyokap mau ikut jadi terpaksa gue juga ikut”,
“ohhh”, katanya sambil manggut-manggut.
Kulihat Doni melintas di depan kelasku,
aku memanggilnya dengan berteriak.
“Apaan sihhh, kayak di pasar aja lo?”,
tanya sambil menghampiriku.
“Gue mau pindah lo”, kataku
memberitahunya.
“Kemana? ke ragunan?”, ejeknya
“Dasar lo, emang gue dikira apaan?”,
jawabku bersungut-sungut
“Hehehe, mau pindah ke mana sih Mit?
“Ke Jerman katanya”, jawab Mita
“Eiiitss ikutan dong”,
“Kok lo gak sedih sih gue mau pindah?”,
kataku
“Lahh.. ngapain gue harus sedih emang
lo siapanya gue?”,
“ihhh Doni nyebelin”,
“Jangan-jangan lo gara-gara…..”,
Doni tak meneruskan perkataannya saat
aku menatamnya dengan mata melotot, aku tahu hilir pembicaraannya.
“Oke, gue ke kantin dulu, oh ya kapan
lo mau pindah?”,
“Ngapain lo nanya-nanya”,
“Ya udah kalau gak boleh”, katanya
sambil berlalu
“Doni”, teriakku
“Oyy”, katanya tanpa menoleh ke arahku
“Besok pagi”,
“Oke”,
Ihhh si Doni nyebelin, nyesel gue
bilang kalau mau pindah.
“Lo beneran mau pindah besok?”, tanya
Mita.
“Iya, gue ke toilet dulu, kebelet dari
tadi”, kataku meringis menahan kebelet pipis.
***
“Ayo nak, cepetan!”, kata mamaku.
“Tunggu bentar lagi Ma”, pintaku
Hahhh.. tak ada siapapun yang
mengantarkanku, tak ada yang menganggapkan aku berharga. Mita sahabatku, entah
kemana Doni si tengil gak ada juga dan Kak Dio, ahhhh… tak mungkin.
Aku membututi mama yang berjalan di
depanku, tiba-tiba ada yang memanggilku
“Maira tunggu”
“Ada yang manggil aku, ihhh kayaknya suaranya mirip kak Dio, tapi
gak mungkin, ahh sudahlah yang penting aku masih berharga”, kataku dalam hati.
“Lo”, kataku
“nih lipstick lo ketinggalan di rumah
gue waktu curhat”, kata Doni sambil menyodorkan lipstick gue.
Ah… parah bukan Kak Dio tapi si tengil
Doni. Mukaku langsung berubah masam, dan lebih parahnya lagi si Doni langsung
pergi berlalu begitu saja setelah lipstick berada ditanganku.
Aku kembali membuntuti ibuku, dengan
muka masamku, tiba-tiba ada yang memegang pundakku.
Aku menoleh kebelakang, dan kulihat
senyuman itu
“Apa aku belum terlambat?”,
“Sama sekali tidak”, jawabku
“Kenapa kau tak memberitahuku?”, tanya
kak Dio
“Sebenarnya ada niat sihh, buat
ngabarin ke Kak Dio. Tapi, aku cancel niatnya”, jawabku disertai dengan tawa
kecil .
“Kak di tahu dari siapa?”, sambungku
“Mita, dia yang memberitahuku”,
“dan Mita sekarang?”
“Ada di mobil”,
“Kenapa gak ikut Kak Dio?”,
“Dia tak ingin membuatmu canggung
padaku”,
Aku tersenyum mendengarnya, Mita memang
sahabat yang baik namun dia telah menggoreskan luka di hati, dan aku berusaha
mengobati luka itu tanpa ada bekas.
“Ini buatmu, disana pasti dingin”, Dia
sodorkan shal merah kepadaku
“Hmm makasi”,
“Iya, dipakek biar gak kedinginan!”,
“Iya, kalau perlu aku pakek tiap hari
disana”,
“bau dong”
“heheheh”
“Mai”, panggil mamaku
“Iya tunggu, kak aku berangkat yah”
“Iya”,
Lambaian tangan mengakhiri percakapanku
dengannya. Ahh…. Rasanya terlalu singkat percakapan tadi.
***
7 TAHUN KEMUDIAN…..
“Ah panasnya Indonesia”, kataku
“Mau kemana Non”, tanya pak sopir
“Ke hotel Night Dream”,
“Baik Non”.
Nanti malam ada acara reuni anak SMA
Internasional High School angkatan XXI, XXII, XXIII. Aku sangat antusias untuk
menghadiri acara reuni itu, aku kangen sama temen-temen termasuk sahabatku.
Karena sejak aku ada di Jerman, tak ada komunikasi antara aku dengan mereka
jadi aku kangen berat.
***
Aku memakai dress selutut berwarna
merah, dan siap meluncur ke acara reuni.
Sesampainya disana, aku tak melihat
orang yang aku kenal, yang ada hanya kakak kelas angkatannya kak Dio.
“Heiii”
Suara itu mengagetkanku.
“Mita”, kataku
“Maira, cantik banget lo”, kata Mita
“Terima Kasih, lo juga cantik kok”,
balasku memujinya
Dan kulihat Kak Dio menghampirinya
dengan senyum diwajahnya, tangan Mita menggandeng tangannya, aku mencoba
tersenyum menarik sudut di setiap bibirku.
“Heii, sudah lama di Indonesia?”, tanya
kak Dio
“Tadi siang baru landing”, kataku datar
“Ohh..”. kata Kak Dio singkat
“Eh itu Doni”, kata Mita sambil
melambaikan tangan kea rah Doni
“Hai guys, gak kangen nih sama Chef
Doni?”, tanyanya penuh percaya diri
“Ihh Doni, dari dulu sampai sekarang
gak pernah berubah”, kataku
“Eh lo Mai, gimana kabarnya? Enak di
Jerman?”,
“Tau”. Jawabku singkat
“Yaelah ditanyain sok jutek, ya sudah
gue ke belakang dulu”,
“Mau ngapain lo Don?”, tanya Mita
“Biasa Chef Doni mau ngeluari bakat
terpendamnya”, katanya dengan senyum yang mengembang.
“Gue ngambil minum dulu ya”, kataku kepada
Mita
“Iya Mai, gue juga mau kedepan
panggung, mau liat Doni. Yuk kak”, kata Mita
Aku melangkah menuju mengambil minuman
di sudut ruangan acara reuni berlangsung, ku teguk minuman itu.
Terdengar lantunan gitar akustik yang
berasal dari atas panggung, dan kulihat Doni dengan gitarnya dengan gaya sok
kerennya.
“Ini lagu aku persembahkan untuk
seseorang yang lama telah aku sayangi”, kata Doni
Seorang
teman diam-diam mencintaimu
Memendam
rahasia
Tidak
pernah berani mengungkapkan
Takut
terluka dan kehilanganmu
Semakin
lama menyembunyikannya, semakin melelahkan
Semakin
kita menjadi dekat
Aku
semakin gugup, apalagi saat kau memandangku
Dan
aku terus menghindar
Aku
mencoba meraih sebisaku, tapi tetap merasa jauh
Semakin
kau bersikap seperti sahabat
Semakin
aku tak berani memberitahumu
Jika
orang itu bukan kamu
Mungkin
aku akan memberitahumu
Tapi
hanya denganmu aku merasa nyaman
Jadi
aku harus terus menahannya
Aku
mencoba meraih sebisaku, tapi tetap merasa jauh
Semakin
kau bersikap seperti sahabat
Semakin
aku tak berani memberitahumu
Bahwa
aku mencintaimu
Maira
Vanila
Suara tepuk tangan
mengakhiri nyanyian Doni, aku masih tertegun mendengar deratan dua kata pada
akhir lirik lagunya. Semua mata memandang ke arahku saat Doni menghampiriku,
aku hanya bisa menatapnya dengan seribu pertanyaan.
Doni memegang tanganku
dengan lembut.
“Ada yang mau gue
tunjukin”, bisiknya
Aku hanya tersenyum
mengangguk. Kemudian di membawaku ke tempat mobilnya terparkir. Dia membukakan
pintu untukku.
Sepanjang perjalanan
tak ada kata yang terlontar dari mulutku begitu juga dengan. Suasananya
canggung seperti kami tak pernah mengenal satu sama lain.
Entah kemana dia
membawaku, yang pasti tempatnya jauh dari acara reuniannya. Sekitar 20 menit
perjalanan, akhirnya kami pun sampai. Sepertinya Doni membawaku ke lapangan
besar, ahhh bukan ternya Doni membawaku ke pinngir tebing, dengan pemandangan
suasana kota yang terlihat indah dengan lampu-lampu yang bersinar menerangi
setiap sudutnya.
“Ini yang mau loe
tunjukin?”, aku memcoba menghilangkan suasana kecanggungan.
“Hehehe iya”, jawabnya
dengan tawa
“Indah”,
“Sangat Indah”,
“Tadi gue denger akhir
lirik lagu loe…”,
Dia menutup mulutku.
“Ah… loe menghilangkan
momen romantisnya”, katanya bersungut-sungut
“Maksud loe ?”, tanyaku
tak mengerti
“Seharusnya loe gak
perlu nanyak soal itu”,
“Lah emang kenapa?”,
“Gue lagi mikir”,
“Mikir apaan?”,
“Hahhh.. bawel”,
“Ihh gue kan Cuma
pengen tau”,
“Gue lagi mikir gimana
cara nyatain perasaan gue ke loe dengan seromantis mungkin”,
“Perasaan ke gue?
Nyasar loe kali”.
“Nyasar? Maksud loe?
“Loe kan suka ke Mita,
kok loe mau nyatain perasaan ke gue sih?
“Mita… hahaha aku tak
pernah menganggapnya lebih dari teman
“Tapi waktu itu…..
“Ohh.. itu bohong”,
“Kenapa loe bohong sama
gue
“Gue gak pengen lo
mikir kalo lo orang yang paling kecewa saat itu, orang yang paling patah hati.
Jadi…. Begitulah caraku”. Jelasnya
Aku menatapnya dalam,
setulus itukah dia padaku? Kenapa aku tak merasakan kehadirannya dari dulu.
“Nih lipstiknya gue kembaliin”,
“Ya ampun Mai, lo masih
nyimpen lipstik itu. Sudah jamuran tuh lipstiknya.”
“Gue tau, makanya gue
kembaliin ke lo. Itu kan bukan punya gue”,
“Yaiyalah itu bukan
punya lo, itu punya nyokap gue, gue curi buat ketemu lo untuk terakhir
kalinya”, jelasnya lagi dengan disertai senyum yang mengembang di wajahnya
“Mai, jadi gimana?”,
sambungnya lagi
“Gimana apanya?”,
“Gimana? Lo mau gak
jadi pacar gue”,
“Pacar lo? gue….
Aku terdiam sejenak.
Sedikit melirik ke arahnya, mukanya sudah mulai masam, pucat dan keringat membanjirinya
“Gue gak bisa
nyia-nyiain orang yang mencintai gue setulus cinta lo”,
“Jadi?”,
Aku tersenyum lebar ke
arahnya. Dia meloncat-loncat kegirangan.
“Sekarang Maira jadi cewek gue”, Doni
berteriak sekeras mungkin
Tiba-tiba
Kriiiiiiiuuuyuuuuuuuuukkk….. Aku
menoleh kearahnya, mengerjitkan dahinya.
“Oh… rupanya pacarku sedang lapar”,
ejek Doni
Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
“Ayo pulang, gue masakin menu special
buat pacarku”,
“Emang bisa masak?”,
“Chef Doni, kamu gak denger namaku jadi
Chef Doni sekarang”,
“Denger sih tapi gak yakin gitu”,
Senyum mengembang di
wajah kami. Aku dan Doni, kami berdua, tidak maksudnya aku, khusus untukku tak
pernah membayangkan hal ini sebelumnya.
Terimakasih Doni,
terimakasih untuk cinta tulusmu dan terimakasih telah bersabar menungguku
selama ini.
“Aku tak tahu bagaimana ia bermula yang
aku tahu ia mengalir begitu saja, hingga aku merasakan sesuatu yang berbeda
darinya. Seperti kisah ini, entah
bagaimana mulainya tapi, yang pasti saat ini kami ingin selalu bergandengan
tangan menyongsong masa depan gemilang dan berharap takdir Tuhan berpihak.”